Ya Allah, berilah petunjuk dan rahmat untuk para pemimpin kami, selamatkanlah kami dari fitan, ampunanilah kami & mereka

Kamis, 12 Juni 2008

Ada apa dengan Yayasan Al-Kahfi Batam ??

Hati-hati dengan Al Sofwah dan Ihya ut Turats
Ahad, 14 Agustus 2005 - 14:58:47 :: kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Website thullabul-ilmiy.or.id
.: :.
Pengantar Redaksi

Berikut adalah peringatan keras yang dibawakan oleh Syaikh Abu Yaasir Khalid Ar Raddadi hafidhahullah (Dosen Tetap Madinah Islamic University, Saudi Arabia. Beliau adalah pentahqiq kitab Syarhus Sunnah yang ditulis Al Imam Al Barbahari Rahimahullah Ta`ala) atas bahayanya al-Jam'iyah al-Hizbiyyah seperti Ihya ut Turats dan Al Sofwah dan yayasan yang berta’awun dengannya (Yayasan al Kahfi Batam, Nidaul Fithrah Surabaya, LBI Al Atsary Jogjakarta dll) dan para da’i yang berta’awun dengannya seperti Abdul Hakim Abdat cs dengan berbagai kesalahan manhajnya.

Percakapan dengan Syaikh Kholid ini diselenggarakan pada tanggal 17 Dzulhijjah 1423/ 19 Februari 2003 bertempat di sekretariat Yayasan Anshorus Sunnah, Batam dan dihadiri juga oleh Salafiyyun di Batam.

[Sebelum memulai pertanyaan kepada Syaikh Kholid, terlebih dahulu mendahuluinya dengan mengabarkan beberapa penjelasan kepada beliau ]

Ustadz Muhammad Wildan, Lc :
“Sebelum diajukannya beberapa pertanyaan kepada anda, wahai Syaikh kami, kami beritahukan kepada anda secara singkat tentang keadaan yayasan yang kami harapkan penjelasan dari anda tentang yayasan tersebut.

Maka kami katakan wabillahi taufiq, telah didirikan di kepulauan kami yaitu pulau Batam beberapa tahun yang lalu sebuah yayasan islamiyyah yang dinamakan dengan yayasan Al-Kahfi yang dipimpin oleh seorang laki-laki yang bernama Tarno. Dulunya Tarno ini adalah termasuk orang yang sering menghadiri kajian-kajian kami dan halaqah-halaqah kami. Kemudian kami melarangnya untuk menghadiri kajian-kajian tersebut dikarenakan beberapa penyimpangan yang muncul dari dirinya. Dan kami telah menasihatinya, namun ia tidak menerima nasihat tersebut dan tetap pada apa yang dilakukannya. Bahkan ia menggembosi orang lain dari kalangan asy-syabaab (pemuda) as-salafiyyin untuk meninggalkan / tidak menghadiri kajian -kajian kami lagi sebagaimana ia telah mempengaruhi orang lain untuk bergabung dengannya. Dan memang ternyata sebagian pemuda salafiyyun terpengaruh dengan apa yang dilakukannya.

Dan yayasan yang didirikannya ini melakukan beberapa aktifitas dakwah diantaranya :
1. Mengadakan dauroh-daoroh `ilmiyah dengan mengundang beberapa da'i yang mempunyai hubungan dengan al-Jam'iyah al-Hizbiyyah seperti Ihya' ut-Turots dan ash-Shofwah (nama resminya Yayasan Al-Sofwa, red)
2. Disebarkan di yayasan ini majalah "Assunnah" yang diterbitkan oleh salah seorang da'i yang berta'awun / melakukan kerja sama dengan Jam'iyah Ihya' ut-Turots dan menerima bantuan darinya.
3. Pada masa tahun ini telah diadakan kajian-kajian dan dauroh-dauroh secara rutin di yayasan ini dengan melakukan ta'awun dengan salah seorang alumnus kuliah Syari`ah di al-Jami'ah al-Islamiyah sebagai pengajar di yayasan tersebut.

Demikian sekilas tentang keadaan yayasan tersebut. Adapun beberapa pertanyaan yang akan kami sampaikan kepada anda tentang mu`asaah (yayasan) ini dan tentang masalah yang lainnya adalah sebagai berikut : "

Ustadz Wildan :
“Bagaimana atau apa pendapat Anda tentang yayasan Al-Kahfi yang kondisinya telah dijelaskan diatas ?”

Syaikh Kholid :
[ Ba'da tahmid dan sholawat ]
"Tidak diragukan lagi bahwa yayasan tersebut merupakan mua`sasah al-hizbiyyah. Dan dalil tentang hal tersebut ada 4 (empat) yakni :
1. Bahwa orang yang bertanggung-jawab terhadap yayasan itu adalah seorang laki-laki yang telah sampai nasihat kalian padanya, kalian telah menasihatinya yaitu ketika muncul darinya beberapa kesalahan manhajiyah dan beberapa kesalahan yang menyelisihi manhaj As-Salaf Ash-Sholih, namun ternyata ia tidak menerimanya dan tidak memperdulikan nasihat atau perkatan kalian serta tahdzir dari kalian. Malah ia mendirikan yayasan yang lainnya.

2. Yayasan ini (Al-Kahfi) ditopang / dibantu oleh orang-orang yang dikenal memiliki permusuhan yang keras terhadap ad-da'wah as-salafiyyah.

3. Bahwa mereka tidak mengundang ke yayasan ini orang-orang yang dikenal / diketahui mempunyai manhaj yang bersih / murni. Dan juga keyakinan yang murni dari kalangan orang-orang yang dikenal memerangi al-hizbiyyah dan orang-orang yang tidak jelas posisinya, melainkan mereka mengundang orang-orang yang sependirian dengan mereka dan orang-orang yang satu jalan / metode dengan mereka.

4. Sesungguhnya mereka tidak cukup hanya melakukan hal-hal di atas melainkan mereka menerbitkan (maksudnya menyebarkan) majalah yang mereka namakan majalah 'Assunnah' dengan mengikuti nama majalah 'Assunnah' yang diterbitkan oleh Muhammad Surur Zainul Abidin; tokoh / pendiri sururiyyah.

Majalah 'Assunnah' yang dinamakan dengan 'Assunnah' secara dusta dan tidak benar. Dan juga majalah ini merupakan / dianggap sebagai corong dari corong-corong mereka. Di dalamnya disebarkan makalah-makalah yang memperkuat posisi mereka, membantu / membela apa yang ada pada diri mereka serta melarang orang yang hendak menulis dengan tulisan yang berisi perang terhadap al-hizbiyyah dan perang terhadap apa yang menyelisihi manhaj As-Salaf.

Oleh sebab itu, berangkat dari hal-hal ini semua maka kami katakan sesungguhnya yayasan ini (al-kahfi) tidak diragukan lagi merupakan yayasan yang berdiri di atas at-tahazzub dan berdiri di atas penyelisihan terhadap manhaj yang benar. Oleh karenanya, yayasan ini wajib dijauhi, diperangi dan ditahdzir, diperingatkan para pemuda salafiyyun dari yayasan ini dan tidak boleh berhubungan dengannya sampai mereka kembali kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan meninggalkan tahazzub yang ada pada diri mereka dan juga meninggalkan kebencian terhadap manhaj As-Salaf."

(Transkrip redaksi pembicaraan dalam Bahasa Arab)
س : "السلام عليكم"
ج : "وعليكم السلا
س : كيف حالكم ؟ لعلكم بخير
ج : … كيف حالك ؟
س : الحمد لله بخير. كيف حالكم ؟
نعم يا شيخنا، قبل عرض الأسئلة عليكم نفيدكم بنبذة مختصرة عن حال المؤسسة التي نرجو منكم البيان عنها، فنقول وبالله التوفيق :
لقد أنشئت في جزيرتنا جزيرة باتام قبل سنوات تقريبا مؤسسة اسلامية تسمى مؤسسة الكهف بزعامة رجل يدعى ترنو. وكان ترنو ممن حضر
دروسنا وحلقتنا ثم منعناه من حضور الدروس للمخالفات التي صدرت منه و قد نصحناه و لم يقبل النصيحة و أصر على ما هو عليه، بل قام بتهييج غيره من
الشباب السلفيين على ترك الدروس كما أثر غيره للانضمام معه، فقد تأثر فعلا بعض الشباب بما فعل.
و كانت المؤسسة التي أنشأها تقوم بالأعمال الدعوية، منها :
- إقامة الدورات العلمية باستدعاء بعض الدعاة الذين لهم صلة بالجمعية الحزبية كإحياء التراث و الصفوة.
- نشرت في هذه المؤسسة مجلة السنة التي أصدرها أحد الدعاة الذين يتعاونون مع جمعية إحياء التراث و يقبلون المعونات منها.
- وفي خلال هذه السنة تقام فيها الدروس والدورات مكثفة بالتعاون مع أحد خريجي كلية الشريعة بالجامعة الاسلامية كمدرس فيها.
هكذا نبذة مختصرة عن حال المؤسسة، وأما الأسئلة التي نريد أن نعرضها عليكم عن هذه المؤسسة وغيرها فهي كالتالي :

س ] : ما قولكم في مؤسسة الكهف التي مر بيان حالها ؟ جزاكم الله خيرا.

ج :سبحانك لا علم لنا إلا ما علمتنا انك أنت العليم الحكيم. لا ريب أن المؤسسة المذكورة مؤسسة حزبية، والأدلة على ذلك أربعة وهي :
أولا : القائم عليها رجل قد حصل بينكم وبينه مناصحة قد نصحتموه. نعم وذلك لما بدر منه أخطاء منجية أو أخطاء … سلفية، لكنه لم
يعبأ بكلامكم وبتحذيركم هذا كله و ذهب لينشئ مؤسسة…
ثانيا : هذه المؤسسة تدعم ممن عرف بعدائه الشديد للدعوة السلفية و محاربتها كإحياء التراث و نحوها.
ثالثا : أنهم لا يدعون إلى هذه المؤسسة من عرف بسلامة المنهج والمعتقد ؛ من عرف بمحاربة الحزبية وأرباب التمييع، وإنما يدعون من هو على
شاكلتهم ومن كان معهم على طريقتهم.
رابعا : أنهم لم يكتفوا بهذا فحسب بل أصدروا بل قاموا بإصدار مجلة سموها بمجلة السنة أسوة بمجلة السنة زين الدين، محمد زين الدين
العابدين
س : محمد سرور.
ج : محمد سرور أو محمد سرور.
س : زين العابدين.
ج : سموها باسم مجلته التي سميت زورا و بهتانا بالسنة. وأيضا هذه المجلة هي تعتبر رافدا من روافدهم ففيها تنشر المقالات التي تؤيد مسلكه
وتنصر ما هم عليه و يمنع عن قلم الذي يريد محاربة الحزبية و محاربة ما يخالف منهج السلف.
فلهذا كله نقول : إن هذه المؤسسة لا شك أنها مؤسسة قائمة على التحزب و على مخالفة المنهج السليم. ولذلك يجب الابتعاد
عنها و محاربتها ويجب التحذير منها تحذير الشباب منها و عدم الصلة بها حتى يعودوا إلى الله ويدعوا ما هم عليه من تحزب و من بغض
لمنهج السلف. نعم
س : جزاكم الله خيرا.

(Dikutip dari http://thullabul-ilmiy.or.id/modules/news/artikel.php?storyid=32, judul asli BAHAYA AL JAM’IYAH AL HIZBIYYAH [Bag. 1], dengan edit dari redaksi Salafy.or.id)

Dikutip dari :
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=971

Biografi Asy-Syaikh Rabi' hafidhahullah

Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al-Madkhali

Sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/26/syaikh-rabi%e2%80%99
-bin-hadi-%e2%80%98umair-al-madkhali/

Nama dan nasab beliau:

Beliau adalah Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Rabi’ bin Hadi bin Muhammad ‘Umair Al-Madkhali, berasal dari suku Al-Madakhilah yang terkenal di Jaazaan, sebuah daerah di sebelah selatan Kerajaan Arab Saudi. Suku ini termasuk keluarga Bani Syubail, sedangkan Syubail adalah anak keturunan Yasyjub bin Qahthan.

Kelahiran beliau:

Syaikh Rabi’ dilahirkan di desa Al-Jaradiyah, sebuah desa kecil di sebelah barat kota Shamithah sejauh kurang lebih tiga kilometer dan sekarang telah terhubungkan dengan kota tersebut. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 1351 H. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih berumur sekitar satu setengah tahun, beliau tumbuh berkembang di pangkuan sang ibu -semoga Allah Ta’ala merahmatinya. Sang ibu membimbing dan mendidik beliau dengan sebaik-baiknya, mengajarkan kepada beliau akhlak yang terpuji, berupa kejujuran maupun sifat amanah, juga memotivasi putranya untuk menunaikan shalat dan meminta beliau menepati penunaian ibadah tersebut. Selain pengasuhan ibunya, beliau diawasi dan dibimbing pula oleh pamannya (dari pihak ayah).

Perkembangan Keilmuan

Ketika Syaikh Rabi’ berusia delapan tahun, beliau masuk sekolah yang ada di desanya. Di sekolah tersebut beliau belajar membaca dan menulis. Termasuk guru yang membimbing beliau dalam belajar menulis adalah Asy-Syaikh Syaiban Al-‘Uraisyi, Al-Qadli Ahmad bin Muhammad Jabir Al-Madkhali dan dari seseorang yang bernama Muhammad bin Husain Makki yang berasal dari kota Shibya’. Syaikh Rabi’ mempelajari Al Qur`an di bawah bimbingan Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Jabir Al-Madkhali disamping belajar ilmu tauhid dan tajwid.

Setelah lulus, beliau melanjutkan studi ke Madrasah As-Salafiyyah di kota Shamithah. Termasuk guru beliau di madrasah tersebut adalah Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Faqih Nashir Khalufah Thayyasy Mubaraki rahimahullah, seorang alim kenamaan yang termasuk salah satu murid besar Asy-Syaikh Al-Qar’awi rahimahullah. Di bawah bimbingannya, Syaikh Rabi’ mempelajari kitab Bulughul Maram dan Nuzhatun Nadhar karya Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah Ta’ala.

Kemudian beliau belajar di Ma’had Al-‘Ilmi di Shamithah kepada sejumlah ulama terkemuka, yang paling terkenal adalah Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Masyhur Hafidh bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah Ta’ala dan saudaranya Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Hakami, juga kepada Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ahmad bin Yahya An-Najmi hafidhahullah. Di ma’had tersebut beliau belajar akidah kepada Asy-Syaikh Al-’Allamah Doktor Muhammad Amman bin ‘Ali Al-Jami. Demikian pula kepada Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad Shaghir Khamisi, beliau mempelajari ilmu fikih dengan kitab Zaadul Mustaqni’ dan kepada beberapa orang lagi selain mereka, di mana Syaikh mempelajari ilmu bahasa Arab, adab, ilmu Balaghah dan ilmu ‘Arudl (cabang-cabang ilmu bahasa Arab-pent.)

Tahun 1380 H seusai ujian penentuan akhir, beliau lulus dari Ma’had Al-‘Ilmi di kota Shamithah dan di awal tahun 1381 H beliau masuk ke Fakultas Syari’ah di Riyadl selama beberapa waktu lamanya, sekitar satu bulan, satu setengah atau dua bulan saja. Ketika Universitas Islam Madinah berdiri, beliau pindah ke sana dan bergabung di Fakultas Syari’ah. Beliau belajar di Universitas tersebut selama empat tahun dan lulus darinya pada tahun 1384 H dengan predikat cumlaude.

Diantara guru-guru beliau di Universitas Islam Madinah adalah:

• Mufti besar Kerajaan Arab Saudi, Samahatusy Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah Ta’ala, kepada beliau Syaikh Rabi’ mempelajari Aqidah Thahawiyah.
• Fadlilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, mempelajari bidang ilmu hadits dan sanad.
• Fadlilatusy Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad, mempelajari ilmu fikih tiga tahun lamanya dengan kitab Bidayatul Mujtahid.
• Fadlilatusy Syaikh Al-‘Allamah Al-Hafidh Al-Mufassir Al-Muhaddits Al-Ushuli An-Nahwi wal Lughawi Al-Faqih Al-Bari’ Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, penulis tafsir Adlwaul Bayan, kepada beliau Syaikh Rabi’ mempelajari ilmu tafsir dan ushul fikih selama empat tahun.
• Asy-Syaikh Shalih Al-‘Iraqi, belajar akidah.
• Asy-Syaikh Al-Muhaddits ‘Abdul Ghafar Hasan Al-Hindi, belajar ilmu hadits dan mushthalah.

Setelah lulus, beliau menjadi dosen di almamater beliau di Universitas Islam Madinah selama beberapa waktu, kemudian beliau melanjutkan studi ke tingkat pasca sarjana dan berhasil meraih gelar master di bidang ilmu hadits dari Universitas Al-Malik ‘Abdul ‘Aziz cabang Mekkah pada tahun 1397 H dengan disertasi beliau yang terkenal, berjudul Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni. Pada tahun 1400 H beliau berhasil menyelesaikan program doktornya di Universitas yang sama, dengan predikat ***** laude setelah beliau menyelesaikan tahqiq (penelitian, komentar –pent.) atas kitab An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash-Shalah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala.

Syaikh Rabi’ kemudian kembali ke Universitas Islam Madinah dan menjadi dosen di Fakultas Hadits. Beliau mengajar ilmu hadits dengan segala bentuk dan cabangnya, serta berkali-kali menjadi ketua jurusan Qismus Sunnah pada program pasca sarjana dan sekarang beliau menjabat sebagai dosen tinggi. Semoga Allah menganugerahkan kepada beliau kenikmatan berupa kesehatan dan penjagaan dalam beramal kebaikan.

Sifat dan akhlak beliau

Syaikh Rabi’ hafidzahullah Ta’ala memiliki keistimewaan berupa sifat sangat rendah hati dihadapan saudara-saudaranya, murid-muridnya maupun kepada para tamunya. Beliau seorang yang sangat sederhana dalam hal tempat tinggal, pakaian maupun kendaraan, beliau tidak menyukai kemewahan dalam semua urusan ini.

Beliau adalah seorang yang selalu ceria, berseri-seri wajahnya dan sangat ramah, membuat teman duduk beliau tidak merasa bosan dengan kata-kata beliau. Majelis beliau senantiasa dipenuhi dengan pembacaan hadits dan Sunnah serta tahdzir (peringatan-pent.) dari kebid’ahan dan para pelakunya, sehingga orang yang belum mengenal beliau akan menyangka bahwa tidak ada lagi kesibukan beliau selain hal tersebut.

Syaikh Rabi’ sangat mencintai salafiyyin penuntut ilmu, beliau menghormati dan memuliakan mereka. Beliau berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sesuai kemampuan beliau, baik dengan diri sendiri maupun dengan harta. Rumah beliau selalu terbuka untuk para penuntut ilmu, sampai-sampai hampir tidak pernah beliau menyantap sarapan pagi makan siang maupun makan malam sendirian, karena selalu saja ada pelajar yang mengunjungi beliau. Beliau menanyakan keadaan mereka dan membantu mereka.

Syaikh Rabi’ termasuk ulama yang sangat bersemangat menyeru kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta akidah salaf, penuh semangat dalam mendakwahkannya dan beliau adalah pedang Sunnah dan akidah salaf yang amat tajam, yang amat sedikit bandingannya di masa sekarang. Beliau adalah pembela Sunnah dan kehormatan salafus salih di jaman kita ini, siang dan malam, secara rahasia maupun terang-terangan yang tidak terpengaruh oleh celaan orang-orang yang suka mencela.

Karya-karya beliau

Syaikh Rabi’ memiliki sejumlah karya tulis -Alhamdulillah – beliau hafidzahullah telah membicarakan berbagai bab yang sangat dibutuhkan secara proporsional, terlebih khusus lagi dalam membantah para pelaku bid’ah dan para pengikut hawa nafsu di jaman yang penuh dengan para perusak namun sedikit orang yang berbuat ishlah (perbaikan, pent.) Diantara karya beliau :

1. Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni, sejilid besar dan ini merupakan thesis beliau untuk meraih gelar master.
2. An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash-Shalah, telah dicetak dalam dua juz dan ini merupakan disertasi program doktoral beliau.
3. Tahqiq Kitab Al- Madkhal ila Ash-Shahih lil Hakim, juz pertama telah dicetak.
4. Tahqiq Kitab At-Tawasul wal Wasilah lil Imam Ibni Taimiyyah, dalam satu jilid.
5. Manhajul Anbiya` fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql.
6. Manhaj Ahlis Sunnah fii Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
7. Taqsimul Hadits ila Shahih wa Hasan wa Dla’if baina Waqi’il Muhadditsin wa Mughalithatil Muta’ashibin, sebuah bantahan terhadap ‘Abdul Fatah Abu Ghuddah dan Muhammad ‘Awamah.
8. Kasyfu Mauqifi Al-Ghazali minas Sunnah wa Ahliha.
9. Shaddu ‘Udwanil Mulhidin wa hukmul Isti’anah bi ghairil Muslimin.
10. Makanatu Ahlil Hadits.
11. Manhajul Imam Muslim fii Tartibi Shahihihi.
12. Ahlul Hadits Hum Ath-Thaifah Al-Manshurah An-Najiyah hiwar ma’a Salman Al-‘Audah
13. Mudzakarah fil Hadits An-Nabawi.
14. Adlwa` Islamiyyah ‘ala ‘Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi.
15. Matha’inu Sayyid Quthb fii Ashhabi Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
16. Al-‘Awashim mimma fii Kutubi Sayyid Quthb minal Qawashim.
17. Al-Haddul Fashil bainal Haq wal Bathil hiwar ma’a Bakr Abi Zaid.
18. Mujazafaatul Hiddaad.
19. Al-Mahajjatul Baidla` fii Himaayatis Sunnah Al-Gharra`.
20. Jamaa’ah Waahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraathun Wahidun Laa ‘Asyaraat, hiwar ma’a ‘Abdirrahman ‘Abdil Khaliq.
21. An-Nashrul Aziiz ‘ala Ar-Raddil Wajiiz.
22. At-Ta’ashshub Adz-Dzamim wa Aatsaruhu, yang dikumpulkan oleh Salim Al-‘Ajmi.
23. Bayaanul Fasaadil Mi’yar, Hiwar ma’a Hizbi Mustatir.
24. At-Tankiil bimaa fii Taudhihil Milyibaari minal Abaathiil.
25. Dahdlu Abaathiil Musa Ad-Duwaisy.
26. Izhaaqu Abaathiil ‘Abdil Lathif Basymiil.
27. Inqidladlusy Syihb As-Salafiyyah ‘ala Aukaar ‘Adnan Al-Khalafiyyah.
28. An-Nashihah Hiyal Mas`uliyyah Al-Musytarakah fil ‘Amal Ad-Da’wi, diterbitkan di majalah At-Tau’iyyah Al-Islamiyyah
29. Al-Kitab was Sunnah Atsaruhuma wa makaanatuhuma wadl Dlarurah ilaihima fii Iqaamatit Ta’liimi fii Madaarisinaa, artikel majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah, edisi 16.
30. Hukmul Islam fii man Sabba Rasulallah au Tha’ana fii Syumuli Risaalatihi, artikel koran Al-Qabas Al-Kuwaitiyyah edisi 8576 tahun 9/5/1997.

Syaikh Rabi’ memiliki karya tulis lain di luar apa yang telah disebutkan di sini. Kita memohon kepada Allah agar memberikan pertolongan-Nya untuk menyempurnakan usaha-usaha kebaikan yang beliau lakukan dan semoga Allah memberikan taufik kepada beliau kepada perkara-perkara yang dicintai dan diridlai-Nya, Dia-lah penolong semua itu dan maha mampu atasnya.

(Dinukil dari Mauqi’ Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah dengan sedikit perubahan)

INFO DAURAH

1. Daurah kota Batam

Bismillahirrahmanirrahim

Hadirilah Daurah Ilmiyyah Ahlussunnah waljamaah kota Batam pada :

Hari/Tgl : Sabtu-Ahad/21-22 Juni 2008

Waktu : 08-17 WIB

Tempat :Masjid Anshorus Sunnah, Perumahan Cendana,
Batam Centre

Pemateri :
1. Al-Ustadz Abdul Mu'thi (Yogyakarta)

2. Al-Ustadz Afifuddin (Gresik)

Diselenggarakan oleh Panitia Daurah Ahlussunnah Waljamaah kota Batam
Yayasan Anshorus Sunnah, Komplek Perumahan Cendana, Batam Centre, Tlp 0778-475376

===================================================================
2. Daurah Masyayikh di Yogyakarta 2-4 Agustus 2008

Selengkapnya klik di :
http://daurah.salafy.or.id

Rabu, 11 Juni 2008

Jangan lecehkan ulama !!

Melecehkan Ulama, Ciri Ahli Bid'ah, Yahudi & Ahli Kitab

Sabtu, 12 Februari 2005 - 19:49:57 :: kategori Manhaj
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Al Atsari
.: :.
Tingginya Kedudukan Ulama

Predikat orang alim, berilmu, dan menguasai urusan agama (syariat) merupakan anugerah agung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat Yang Maha ‘Alim. Titian jalan yang ditempuhnya senantiasa mendapat iringan barakah Ilahi. Kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala pun berada pada tingkatan yang tinggi lagi mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاَتٍ
“ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata : “Oleh karena itu kita dapati orang-orang yang berilmu selalu menyandang pujian. Setiap (nama mereka) disebut, pujian pun tercurah untuk mereka. Ini merupakan wujud diangkatnya derajat (mereka) di dunia. Adapun di akhirat, akan menempati derajat yang tinggi lagi mulia sesuai dengan apa yang mereka dakwahkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan realisasi dari ilmu yang mereka miliki.” (Kitabul Ilmi, hal.14)

Merekalah sejatinya referensi utama dalam menyibak perkara-perkara yang musykil. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43).

Oleh karena itu, keberadaan mereka di tengah umat sangatlah berarti, sedangkan ketiadaan mereka merupakan suatu bencana.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Karena para ulama tidak akan tinggal diam untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana mereka selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal. 7)

Teladan As-Salafush Shalih Dalam Memuliakan Ulama

Bila kita buka catatan sejarah, niscaya akan kita lihat kehidupan as-salafus shalih yang diwarnai oleh akhlakul karimah. Memuliakan dan menjunjung tinggi ulama merupakan bagian dari prinsip kehidupan mereka. Perhatikanlah secercah cahaya dari kehidupan mereka ini:
- Shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, suatu hari menuntun hewan tunggangan yang dinaiki shahabat Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, seraya beliau berkata: “Seperti inilah kita diperintah dalam memperlakukan ulama.”
- Ketika Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah menunaikan ibadah haji dan masuk ke kota Makkah, maka Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menuntun tali kekang ontanya seraya mengatakan: “Berilah jalan untuk Syaikh!”. Sedangkan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menggiring onta tersebut (dari belakang) hingga mereka persilahkan Al-Auza’i duduk di sekitar Ka’bah. Kemudian mereka berdua duduk di hadapan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah untuk menimba ilmu darinya.
- Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Dahulu aku membuka lembaran-lembaran kitab di hadapan Al-Imam Malik dengan perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh beliau, karena rasa hormatku pada beliau yang sangat tinggi.” (Dinukil dari Kitab Ad-Diin Wal ‘Ilm, hal. 27)

Demikianlah seharusnya yang terpatri dalam hati sanubari setiap insan muslim, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap ulama dan nabi mereka. Dan tidak pula seperti ahlul bid’ah yang selalu melecehkan ulama umat ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Maka wajib bagi seluruh kaum muslimin -setelah mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya- untuk mencintai orang-orang yang beriman sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an, terkhusus para ulama sang pewaris para Nabi, yang diposisikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala bagaikan bintang-bintang di angkasa yang jadi petunjuk arah di tengah gelapnya daratan maupun lautan. Kaum muslimin pun sepakat bahwa para ulama merupakan orang-orang yang berilmu dan dapat membimbing ke jalan yang lurus.” (Raf’ul Malam ‘Anil Aimmatil A’lam, hal. 3)
Lebih dari itu, melecehkan ulama merupakan ghibah dan namimah yang paling berat (termasuk dosa besar). Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Menggunjing ulama, melecehkan, dan menjelek-jelekkan mereka merupakan jenis ghibah dan namimah yang paling berat, karena dapat memisahkan umat dari ulamanya dan terkikisnya kepercayaan umat kepada mereka. Jika ini terjadi, akan muncul kejelekan yang besar.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal. 17)

Kebejatan Akhlak Orang-Orang Yahudi Terhadap Ulama dan Para Nabi

Tatanan kehidupan mulia ini yakni memuliakan ulama, sangatlah jauh dari kehidupan orang-orang Yahudi. Titah Ilahi yang terkandung di dalam Al-Qur’an telah cukup menggambarkan bagaimana bejatnya akhlak mereka terhadap ulama. Bahkan terhadap para Nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada mereka. Pelecehan, penghinaan, bahkan pembunuhan kerap mereka lakukan terhadap orang-orang mulia itu.

قَالُوا يَا مُوْسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَّا دَامُوا فِيهَا، فاَذْهَبْ أَنْتَ وَ رَبُّكَ فَقَاتِلآ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Mereka berkata: ‘Wahai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya (menaklukkan Palestina), selagi mereka (orang-orang yang gagah perkasa itu) ada di dalamnya. Maka dari itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (Al-Maidah: 24)

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَ قَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ، وَءَاتَيْنَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ، أَفَكُلَّمَا جَآءَكُمْ رَسُولٌ بِّمَا لاَ تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَّذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (Al-Baqarah: 87)

قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَآءَ اللهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Katakanlah: ‘Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kalian benar-benar orang yang beriman?’.” (Al-Baqarah: 91)

Demikianlah sekelumit kebejatan, kebobrokan, dan kebrutalan orang-orang Yahudi. Perilaku mereka merupakan potret suatu kaum yang dikendalikan oleh hawa nafsu, durhaka lagi melampaui batas. Tak segan-segan di dalam meluluskan kehendak hawa nafsunya itu, mereka membinasakan orang-orang yang membimbing mereka ke jalan yang lurus. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala timpakan kepada mereka nista, kehinaan, kemurkaan, dan kutukan.

وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ، ذَالِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّيْنَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَالِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka (orang-orang Yahudi) nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (Al-Baqarah: 61)

وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلاً مَّا يُؤْمِنُونَ
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup.’ Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka. Maka sedikit sekali dari mereka yang beriman.” (Al-Baqarah: 88)

Ahlul Bid’ah Pewaris Akhlaq Orang-orang Yahudi

Adapun ahlul bid’ah dari umat ini, sesungguhnya mereka pewaris dan pemegang tongkat estafet akhlaq bejat orang-orang Yahudi. Sikap melecehkan ulama sunnah merupakan ciri utama ahlul bid’ah di setiap generasi dan kurun waktu.
Al-Imam Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang pun dari ahlul bid’ah di dunia ini kecuali benci terhadap ahlul hadits (Ahlus Sunnah wal Jamaah)”. (Syaraf Ash-habil Hadits, karya Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah, hal. 73)
Al-Imam Isma’il bin Abdurrahman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Tanda dan ciri mereka yang utama adalah permusuhan, penghinaan dan pelecehan yang luar biasa terhadap pembawa hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (ulama)”. (Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hal.116)
Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata: “Ciri-ciri ahlul bid’ah adalah melecehkan ahlul atsar (Ahlus Sunnah wal Jamaah).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, karya Al-Lalikai rahimahullah, 1/200).

Pelecehan mereka itu menerpa ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah baik secara umum ataupun secara khusus (individu tertentu). Adapun secara umum, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah: “Ciri utama Zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran) adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Hasyawiyyah, dalam rangka menggugurkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ciri utama Jahmiyyah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Musyabbihah. Ciri utama Qadariyyah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Mujbirah. Ciri utama Murjiah adalah menjuluki Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan Mukhalifah dan Nuqshaniyyah. Ciri utama Syi’ah Rafidhah adalah menjuluki Ahlus Sunnah dengan Naashibah.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/201)

Adapun pelecehan secara khusus (terhadap individu tertentu) maka ahlul bid’ah dan para pengikutnya tak segan-segan melakukannya. Kaum Syi’ah Rafidhah melecehkan, bahkan mengkafirkan sebagian besar para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula Khawarij, memberontak terhadap khalifah ‘Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu kemudian membunuhnya dengan sadis. Tak luput pula pengkafiran mereka terhadap semua yang terlibat dalam peristiwa tahkim (di kalangan shahabat dan tabi’in). Kelompok Jahmiyah Mu’tazilah pun demikian garangnya terhadap ulama sunnah, khususnya di masa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kelompok Sufi tak ketinggalan di dalam melecehkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Imam Ibnul Qayyim, dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah. Tulisan Muhammad Zahid Al-Kautsari sangat penuh dengan tikaman terhadap ulama As-Sunnah seperti: Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Abi Hatim, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Al-Humaidi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu Dawud, Adz-Dzahabi dan yang lainnya. (Lihat At-Tankil, karya Asy-Syaikh Al-Mu’allimi rahimahullah).

Tulisan-tulisan Sayyid Quthb juga banyak dengan tikaman terhadap Nabi Musa, shahabat ‘Utsman bin Affan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan ‘Amr bin Al-‘Ash. (Lihat Adhwa Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthb Wa Fikrihi dan Matha’in Sayyid Quthb Fi Ash-habi Rasulillah, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali). Demikian pula goresan-goresan pena Abu Rayyah sarat akan pelecehan terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Lihat Al-Anwarul Kasyifah, karya Asy-Syaikh Al-Mu’allimi)
Muhammad Al-Ghazali juga sangat tajam tikamannya terhadap ulama sunnah (lihat Al-Irhab, karya Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhali, hal. 132-133). Adapun Abdurrahman Abdul Khaliq, maka ia termasuk kreator penikaman terhadap ulama sunnah abad ini (sebagaimana dalam kitabnya Khuthuth Ra’isiyyah Liba’tsil Ummatil Islamiyyah) [1]. Tak kalah pula pelecehan terhadap ulama sunnah (abad ini) yang dilakukan oleh Salman bin Fahd Al-‘Audah dalam kasetnya Waqafaat Ma’a Imami Daril Hijrah dan tanya jawabnya dengan majalah Al-Ishlah Emirat [2], ‘Aidh Al-Qarni dalam Qashidah “Da’il Hawasyi Wakhruj” yang terdapat dalam kitabnya Lahnul Khulud hal. 46-47 [3], Nashir Al-‘Umar dalam kitabnya Fiqhul Waqi’ [4] dan Safar Hawali dalam kasetnya Fafirruu Ilallah [5]. Lebih-lebih lagi yang dilakukan oleh Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin dalam majalah “As-Sunnah”-nya (yang lebih pantas disebut Al-Bid’ah) [6] dan juga Muhammad bin Abdillah Al-Mas’ari [7]. Betapa kasar dan arogannya pelecehan mereka itu.

Apakah Pelecehan itu Benar sesuai Kenyataan?

Al-Imam Isma’il bin Abdurrahman Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Aku melihat, julukan-julukan yang ditujukan kepada Ahlus Sunnah itu justru tertuju kepada ahlul bid’ah sendiri. Dan tidak satupun dari julukan-julukan tersebut yang mengena -karena keutamaan dan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala -.

Didalam menyikapi ahlus sunnah, mereka meniru metode musyrikin (Makkah) -semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melaknati mereka- ketika menyikapi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan memberikan julukan-julukan (palsu) kepada beliau. Sebagian dari mereka menjulukinya “tukang sihir”, sebagian lagi menjulukinya “dukun”, “penyair”, “orang gila”, “orang yang terfitnah”, “pembual”, dan “pendusta”. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersih dari semua julukan tersebut, dan tidak lain beliau adalah seorang rasul, manusia pilihan dan nabi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

انْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ اْلأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَ يَسْتَطِيعُونَ سَبِيْلاً

“Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu).” (Al-Furqan: 9)

Demikian pula ahlul bid’ah -semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala hinakan mereka- yang memberikan julukan-julukan (palsu) kepada para ulama pembawa hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang selalu mengikuti jejak beliau dan berpegang teguh dengan sunnahnya (yang dikenal dengan Ashhabul hadits). Sebagian ahlul bid’ah menjuluki mereka dengan Hasyawiyyah, sebagian lagi menjuluki dengan Musyabbihah, Nabitah, Nashibah, dan Jabriyyah. Namun tentu saja ashhabul hadits sangatlah jauh dan bersih dari julukan-julukan negatif itu. Dan mereka tidak lain adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, jalan yang diridhai lagi lurus, serta hujjah-hujjah yang kuat lagi kokoh.” (Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits, hal 119-120)

Di Balik Pelecehan Ulama

Mungkin kita akan tertegun, mengapa pelecehan terhadap orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala muliakan ini terjadi? Ketahuilah bahwa di balik pelecehan ulama ada misi yang terselubung sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah: “Yang demikian itu dalam rangka untuk memisahkan umat dari ulamanya. Sehingga (bila berhasil) akan mudah bagi mereka (Ahlul Bid’ah) untuk menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran dan kesesatan yang dapat menyesatkan umat dan memecah belah kekuatan mereka. Itulah misi yang mereka inginkan, maka hendaknya kita waspada.” (Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal. 17)

Penutup
Dari bahasan di atas, dapat kita petik beberapa pelajaran berharga, yakni:
1. Melecehkan ulama merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi dan ahlul bid’ah.
2. Melecehkan ulama bermudharat bagi diri sendiri, karena ia termasuk ghibah dan namimah (yang keduanya merupakan dosa besar).
3. Melecehkan ulama bermudharat bagi umat, karena ia dapat memisahkan umat dari ulamanya, dan terkikisnya nilai kepercayaan umat kepada mereka.
Atas dasar inilah, maka melecehkan ulama merupakan perbuatan tercela dan diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu memuliakan para ulama dan semoga pula lisan kita selalu basah dengan untaian kata:

رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُوناَ بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِناَ غِلاًّ لِّلَّذِينَ أَمَنُوا رَبَّناَ إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ .

“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Dan janganlah Engkau biarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman bercokol pada hati kami, Yaa Allah sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Amin Yaa Rabbal ‘Alamin…

Catatan kaki :
[1] Diantara pelecehannya terhadap ulama tauhid secara umum adalah: “Dan saat ini sangat disayangkan kita tidak mempunyai ulama kecuali orang-orang yang memahami Islam dengan pemahaman tradisional…”
Dan juga perkataannya: “Kita tidak inginkan barisan dari ulama mummi (jasadnya ada, namun pola pikirnya kuno, pen).”
Adapun pelecehannya terhadap ulama besar Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah adalah: “Dia ibarat perpustakaan berjalan, namun cetakan lama yang perlu direvisi.” Dan juga perkataannya: “Orang ini tidak mampu menjawab syubhat yang dilancarkan oleh musuh-musuh Allah, bahkan tidak ada kesiapan untuk mendengarkan syubhat tersebut.” (Dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 119-120).
[2] Salman Al-‘Audah berkata: “Di dunia Islam saat ini sangat banyak lembaga-lembaga yang jauh dari agama, dan terkadang lembaga tersebut bertanggungjawab tentang fatwa atau urusan agama namun yang dilakukan sebatas pengumuman masuk dan keluarnya bulan Ramadhan.” Dia juga berkata: “Berbagai insiden yang terjadi di teluk (Arab) semakin membongkar berbagai macam penyakit tersembunyi yang diidap oleh kaum muslimin ….. -hingga perkataannya- dan membongkar pula tentang tidak adanya referensi ilmiah (ulama) yang benar dan dapat dipercaya oleh kaum muslimin.” (Dinukil dari Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 98).
[3] Aidh Al-Qarni bersyair tentang para ulama Ahlussunnah yang tinggal di kota Riyadh, Saudi Arabia:
Shalat dan puasalah sekehendakmu,
Agama tidak mengenal “Aabid” hanya dengan sekedar shalat dan puasa.
Engkau hanyalah ahli ibadah dari kalangan pendeta,
Bukan dari umat Muhammad, cukuplah ini sebagai celaan.
hingga perkataannya:
Karya tulismu hanya untuk membicarakan orang-orang yang telah mati.
Tidak lain engkau orang yang sekarat dan banyak omong.
Karya tulismu hanya untuk membicarakan orang-orang yang telah mati,
Tidak lain engkau orang yang sekarat dan banyak omong,
Tiap hari kau syarah matan dengan madzhab taqlid, sungguh kau telah menambah noda-noda hitam Engkau pun nampak sibuk dengan masalah-masalah sampingan ketika engkau takut dengan seorang yang jahat lagi ganas.
Jangan berkata sepatah kata pun wahai Syaikh! Dan tunggulah usia fatwa orang sejenismu hanya 50 tahun saja.
(Dinukil dari kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 99)
[4] Kitabnya yang satu ini, benar-benar dijadikan sebagai senjata ampuh oleh hizbiyyun harakiyyun untuk menjatuhkan ulama sunnah dan mengangkat tinggi-tinggi gembong-gembong harakah.
[5] Safar Hawali berkata: “Ulama kita wahai ikhwan!!! Semoga Allah menjaga mereka… Semoga Allah menjaga mereka!!! (sebagai ungkapan kekecewaan, pen), kita tidak bisa membenarkan segala sesuatu dari mereka, mereka tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan)!!… Kita nyatakan: “Ya! Mereka kurang di dalam memahami waqi’ (fenomena kekinian), mereka punya sekian banyak kekurangan yang harus kita lengkapi!! Bukan kita lebih utama dari mereka, tetapi kita hidup dan bergelut dengan berbagai macam persoalan kekinian, sedangkan mereka menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan hukum yang tidak sesuai dengan zaman yang mereka hidup padanya!” -hingga perkataannya- “Dan sebagian dari ulama tersebut mulai menerima kritikan ini, karena mereka sudah jompo! atau telah memasuki fase ……!?” (Dinukil dari Madarikun Nazhar Fis Siyasah, hal. 351 footnote no.1)
[6] Muhammad Surur berkata tentang para ulama besar Ahlussunnah yang ada di Saudi Arabia: “Dan jenis lain adalah orang-orang yang berbuat tanpa ada rasa takut, yang selalu menyesuaikan sikap-sikapnya dengan sikap para tuannya… Ketika para tuan ini meminta bantuan (pasukan) dari Amerika (untuk menghadapi Saddam Husain sosialis, pen), dengan sigap para budak tersebut mempersiapkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan itu, dan ketika para tuan berseteru dengan Iran (yang berpaham sesat Syi’ah Rafidhah, pen) maka para budak itu pun selalu menyebut-nyebut kejahatan dan kesesatan Syi’ah Rafidhah …” (Majalah As-Sunnah, edisi 23, hal. 29-30).
Dia juga berkata tentang para ulama tersebut: “Perbudakan di masa lalu cukup sederhana, karena si budak hanya mempunyai tuan (secara langsung). Adapun hari ini, perbudakan cukup rumit, dan rasa heranku tak pernah sirna terhadap orang-orang yang berbicara tentang tauhid namun mereka budak budak budak budaknya budak, dan tuan terakhir mereka adalah seorang nashrani (yakni George Bush, pen).” (Majalah As-Sunnah, edisi. 26). (Lihat kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 89).
[7] Muhammad Al-Mas’ari berkata tentang Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah: “Adapun pendapatku secara pribadi sesungguhnya Asy-Syaikh Ibn Baz telah sampai pada tingkat pikun, dungu serta lemah yang sangat.” Adapun pelecehannya terhadap shahabat Mu’awiyah: “Sesungguhnya aku menganggap Mu’awiyah sebagai seorang perampas kekuasaan.”
Sedangkan pelecehannya terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab : “Bahwasanya dia adalah seorang yang polos (biasa-biasa saja) dan bukan seorang yang ‘alim.” (Lihat kitab Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 115).

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 12/1425 H/2005, judul asli Melecehkan Ulama, Kebiasaan Yahudi dan Ahlul Kitab, karya Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Al Atsari, Lc, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=226)

Waspadalah dari tokoh takfiri satu ini !!

Bahayanya Pemikiran Takfir Sayyid Qutub

Rabu, 27 Agustus 2003 - 02:41:17 :: kategori Manhaj
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
.: :.
Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis di sini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya hisab karena perhitungan akan hal tersebut akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.

Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum Muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayyid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum Muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum Muslimin kepada gerakan, keberanian, dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya permikiran Sayyid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. ”Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewangan dan bahaya pemikiran.

Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum Muslimin serta untuk kebaikan Sayyid Quthb sendiri, yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosa beliau, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum Muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayyid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayyid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.


KERANCUAN PEMAHAMAN SAYYID QUTHB TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”

Pemikiran takfir Sayyid Quthb merupakan akibat dari aqidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid La Ilaaha Illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan Al-Hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al Hukumah Al Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al Kasymiri (seorang ulama’ Salaf India) berkata : ”Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al Hukumah Al Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)

Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayyid dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal.182 cet.12 : ”Sesungguhnya perkara yang meyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini aqidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya La ilaaha illallah, yaitu La hakimiyah illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintah-Nya.

Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al Qashash : Huwallahulladzi la ilaaha illahuwa. Dia berkata : ”Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar”. (Fi Zhilalil Qur’an 5/2707).

Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An Nas bahwa Al Ilah adalah Al Musta’li, Al Mustauli, Al Mutasallith (Fi Zhilalil Qur’an 6/4010) yang semuanya bermakna kurang lebih sama yaitu ”Yang Menguasai”.

Demikian Sayyid mempersempit makna illah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “Yang Berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayyid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama’ Ahlus Sunnah.

Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan surat Al Qashash di atas : ”Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu – wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam – adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepada-Nya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia”. (Tafsir Ath Thabari 20/102)

Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan : ”Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)

Demikianlah para ulama’ Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma’ wa sifat. Adapun pemahaman Sayyid bahwa al ilah adalah al hakim atau al musta’li, al mustauli dan al mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama’ Salaf?

Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah (yaitu mengakui bahwa Allah Penguasa dan Pencipta telah diakui juga oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah).

Allah berfirman tentang mereka :

"Katakanlah : 'Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’, Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah : ’Siapa pemilik langit yang tujuh dan Pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah'. Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’. Katakanlah : ’Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah : ’(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ " (Al Mukminun 84-89)

Lupakah Sayyid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhid ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : ’Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’ ” (Al Anbiya 25)

Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah serta mencakup puji-pujian lisan seperti tashbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka menghambakan diri dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Anehnya Sayyid Quthb membawa nama arab dan bahasa arab dalam “pemahamannya” itu. Dia berkata : ”... bahwasanya mereka (orang-orang arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa itu makna ilah dan makna laa ilaah illallah … . Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi (Fi Zhilal 2/1005)

Dia juga berkata dalam halaman berikutnya : ”Laa Ilaaha Illallah sebagaimana dipahamai oleh orang arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu : Tidak ada hakimiyah kecuali dari Allah serta tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah” (Fi Zhilal 2/1006).

Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata : ”Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayyid kepada bahasa arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa arab ataupun selain mereka. Bahkan al ilah menurut orang arab adalah al ma’nud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … . Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya”. (Adlwa’ Islamiyah hal. 63)

Orang-orang arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya Ilah (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan Ilah-Ilah. Seperti Latta yang berbentuk kuburan. Uzza yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah padanya, tetapi mereka tidak mereka menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim atau hakimiyah.

Demikian pula dimasa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tapi mereka tidak menamakannya dengan ilah.

Ingat! Yang kita bantah disini bukan kewajiban bertahkim pada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayyid Qutb yang mengatasnamakan bahasa arab dan orang-orang arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab bahwa makna ilah adalah hakim.

KABURNYA PEMAHAMAN SAYYID TERHADAP RUBUBIYYAH DAN ULUHIYYAH

Kadang-kadang Sayyid menafsirkan makna uluhiyyah dengan rububiyyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayyid berkata dalam tafsir surat Ibrahim 52 : “Makna Al Ilah adalah Dzat yang berhak menjadi rabb yaitu yang menghakimi, yang memiliki, yang berbuat, yang membuat syari’at dan yang mengarahkan. (Fi Zhilalil Qur’an : 4/2114)

Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyyah adalah dalam masalah rububiyyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama’ Ahlussunnah. Dia mengatakan : ”Perkara uluhiyyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyyah, khususnya jahiliyyah arab. Hanya saja yang menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyyah. Yaitu masalah penerapan dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Zhilal)

Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayyid tidak dapat membedakan antara uluhiyyah dan rububiyyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayyid terhadap Rububiyyah dan Uluhiyyah dan sempitanya pandangan Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah ini?

PENGKAFIRAN SAYYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya : ”Termasuk dalam ruang lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk kedalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ pada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian walaupun mereka tidak meyakini uluhiyyah seorangpun kecuali Allah tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan- keistimewaan ketuhanan pada selain Allah dan beragama dengan hakimiyah pada selain Allah.” (Fi Zhilal)

Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Rabi’ bahwa hampir pada semua tulisan Sayyid dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas dalam terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat-sifat uluhiyyah dan ubudiyyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyyah. Dan penafsiran Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah tidak keluar dari hakimiyyah, kekuasaan, dan kepemimpinan semata.

Juga ucapan Sayyid ketika menafsirkan surat Yusuf 106 :

”Tidaklah kebanyakan mereka beriman pada Allah kecuali dalam keadaan musyrik.” (Surat Yusuf 106)

Setelah Sayyid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan : ”Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syari’at yang dijadikan oleh manusia sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk pada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutupi[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan pada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara yang jelas yang muncul dari penguasa para hamba. Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan pada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah.” (Fi Zhilalil Qur’an 4/2023)

Dalam ucapan Sayyid diatas terdapat dua bahaya besar. Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syari’at dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al Qur’an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah khususnya dalam masalah kesyirikan.Hal ini terjadi karena Sayyid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata : “Sesungguhnya kesyirikan mereka ( jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tapi dalam masalah hakimiyah” (Fi Zhilal : 3/1492)

Sungguh aneh pemahaman Sayyid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum islam dan belum menerapkan Al Hakimiyah di negaranya? Kalau menurut pemahaman Sayyid berarti dia tetap kafir karena menurutnya kesyirikan hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan pada masalah keyakinan!

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar raja Najasyi meninggal :

“Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari habasyah. Marilah kemari ! Shalatkanlah dia!" (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)

Bagaimanakah pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid den beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!

ANGGAPAN SAYYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP

Saudarakau kaum muslimin, sesungguhnya Sayyid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai kaum Muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan Esok) : ”Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan Islami dalam masyarakat yang Islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang Islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang Islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti … .”

Tenang sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayyid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu : ” … kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi Muslimin.”

Lihat dia menyebut kaum Muslimin dengan ungkapan : ”Orang-orang yang ingin menjadi Muslimin”!

Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah : ”Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan hari ini, di bawah cahaya ketetapan Ilahi terhadap pemahaman dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaaan dien ini … sesungguhnya keberadaan dien ini telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum Muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam Hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syari’at Allah semata dalam segala aspek kehidupan. Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkanya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi Muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin. Sesungguhnya musuh-musuh dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi Muslimin?” (Al Adalah Al Ijtima’iyah hal. 183-184)

Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayyid yang berbahaya di aataranya anggapan beliau bahwa :

Kehidupan Islam telah tiada
Bahkan wujud Islam telah berhenti
Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam
Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah
Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayyid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!

UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARI PADA ORANG KAFIR LAINNYA

Sayyid Quthb berkata : ”Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari Laa Ilaaha Illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau kelompok pensyariatan ataupun oleh masyarakat…” (fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

Bahkan lebih kejam lagi dia berkata : ”… yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat Laa Ilaaha Illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam dien Allah”. (Fi Zhilalil Qur’an 2/1057)

Lihatlah betapa beraninya Sayyid mengkafirkan kaum Muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?

MASJID MENURUT SAYYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH

Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayyid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus 87 :

“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya : ’Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.' ” (Surat Yunus 87)

Dia berkata : " … inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok Mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, ketika fitnah telah merata, thoghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir'aun pada masa ini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara :

Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya, dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan 'kelompok mukmin' yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan, dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah 'kelompok Muslim' sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadahyang suci. (Fi Zhilalil Qur'an 3/1816) "
Apa yang akan terjadi kalau dakwah Sayyid seperti ini dibiarkan ? Jelas penafsiran yang bathil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Neo Khawarij dengan gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud 'kelompok Mukmin', 'kelompok Muslim' dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat aqidah dan pemikiran Sayyid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.

JALAN KELUAR MENURUT SAYYID

Islam telah lenyap, Muslimin telah murtad, masyarakat Muslimin telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah … . Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi 'kelompok muslim'? Dengarlah apa kata Sayyid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini : "Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi 'kelompok Muslim' di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan :

" … atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…" (Al An'am 65)

Kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang disekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah … ." (Fi Zhilalil Qur'an 2/1125)

Inilah jalan keluar menurut Sayyid, yaitu dengan menjadi khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Tidakkah Sayyid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulama'nya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayyid tidak melihat di sampingnya seorang ulama' yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbun Al Khatib rahimahullah?!

PEMIKIRAN TAKFIR SAYYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN (IM) SENDIRI

Sesungguhnya pemikiran takfir Sayyid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka :

Berkata Yusuf Al Qardlawi dalam bukunya Awliyat Al Harakah Al Islamiyah : "Dalam fase ini muncul buku-buku 'Asy Syahid' Sayyid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat (Islam) dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fiqh dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia … " (Awliyat hal. 110)

Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar IM dalam kitabnya Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Haq hal. 115: "Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir di kalangan Ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayyid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu".

Berkata Ali Gharishah, salah seorang tokoh besar IM, sebagai berikut : "Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara ... bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain … ." (Al Ittijahat Al Fikriyah Al Mu'ashirah hal. 279)

Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayyid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari 'kawan' satu harakah, selalu diiringi dengan basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Al Qardlawi setelah ucapannya di atas, dia berkata : " ... Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif." (Awliyat hal. 110)

Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jama'ah apa, dia hanya mengatakan 'kelompok kecil' dan 'kelompok besar'.

Saudara-saudaraku kaum Muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan hizbnya dengan prinsip mereka yang terkenal : 'KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA'. Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, Salafiyyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?

SIKAP SAYYID TERHADAP 'UTSMAN BIN 'AFFAN RADLIALLAHU 'ANHU

Ikhwani fiddin a'azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfr Sayyid Quthb bukan permasalahn sepele. Sikap pengkafiran seluruh manusia karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk? Pemikiran Sayyid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan khawarij dan syi'ah, khususnya terhadap 'Utsman bin 'Affan dan Mu'awiyah radliallahu 'anhuma. Sayyid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah 'Utsman radliallahu 'anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata : "Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu 'anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan 'Umar bin Khaththab). Adapun masa 'Utsman merupakan celah antara keduanya." (Al Adalah hal. 206). Mengapa? Hal ini setelah Sayyid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang 'Utsman sebagai berikut : "Sesungguhnya diantara kejelekan yang muncul adalah bahwa 'Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayyah di dalamnya." (Al Adalah (dalam terbitan Pustaka Salman) hal. 270)

Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada 'Utsman, yaitu setelah Sayyid menyebutkan cerita-cerita tentang 'Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa 'Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Mu'awiyah dan Al Hakam radliallahu 'anhuma dan selainnya. Kemudian dia berkata : " … Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dalam ruh Islam ini. Khalifah dengan ketuaan dan kepikunannnya tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati 'Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayyah … ." (Al Adalah hal. 187, cet. kelima dan secara makna pada cet. ke-12 hal. 159, dan dalam terjemahan Pustaka Salman hal. 272)

Sebaliknya Sayyid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh 'Utsman. Dia berkata : " … akhirnya, terjadilah pemberontakan atas'Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan.Tetapi bagi yang memandang ini dengan 'kaca mata Islam' dan merasakan urusan ini dengan 'ruh Islam', pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada 'ruh Islam' dan arahannya daripada sikap 'Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah." (Al Adalah hal.189 cet. ke-5 dan hal. 161, 162 cet. ke-12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya
pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba' dan dalam terjemahannya hal. 275)

Seharusnya dia mengucapkan : "Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya … ." Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Adapun pandangan Sayyid adalah pandangan Syi'ah, Khawarij dan Ahli Bid'ah!

Semoga Allah menyelamatkan kaum Muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka padanya. Amin.

______________________________

[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya, dia mengikuti kebiasaan orang-orang kafir Barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi? (Dikutip dari tulisan Ustadz Muhammad Umar as Sewed, Majalah Salafy, Edisi XVI/Dzulhijjah/1417 H/1997 M)

Hasan Al-Banna dan Surur, siapakah ?

Membongkar pikiran Hasan Al Banna - Sururiyah (III)

Sabtu, 15 November 2003 - 23:58:53 :: kategori Manhaj
Penulis: Syaikh Ayyid asy Syamari
.: :.
Ada sekelompok muslim yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma’ dan Sifat ALLAH, Iman dan Taqidr. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur.

Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangung gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya dalam masalah demontrasi, kudeta dan yang sejenisnya).

Dalam hal Asma dan Sifat, ia mengikut manhaj Salaf, sehingga dari sinilah ia dapat masuk ke kerajaan Saudi dan belajar disana.

Jama’ahnya dinamakan Quthbiyah, dinasabkan kepada Sayyid Quthub karena dia memperbarui manhaj Ikhwanul Muslimin dan menciptakan gerakan-gerakan dakwah yang sesat tersebut. Mereka bisa disebut Ikhwanul Muslimin apabila disandarkan kepada induknya atau Sururiyah bila disandarkan kepada dainya yang bergerak pertama kali di Saudi, yakni Muhammad Bin Surur. Jika tidak, maka Sururiyah adalah Quthbiyah dan Ikhwanul Muslimin itu sendiri.

Sururiyah memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah takfir, demonstrasi, tanzhim, mobilisasi massa, dan mengikat pengikut dengan imamat (kepemimpinan seorang Imam, red). Bentuk mereka bermacam-ragam sesuai dengan kondisi negara setempat.

Contohnya di Mesir, sebelum diketahui mereka berprinsip ikhwani, sebagian anggota mereka memulai dengan membangun masjid-masjid. Setiap masjid memiliki penanggung-jawab, dan setiap penanggung-jawab harus melapor kepada ketua wilayah dan ketua wilayah melapor kepada ketua umum.

Sebagian mereka bergerak dalam pembangunan perpustakaan-perpustakaan, lalu hasilnya dilaporkan dan dikumpulkan sampai diketahui oleh pucuk pimpinan.

Sebagian lainnya membentuk halaqah Al Quran dan dipimpin oleh seorang ketua halaqah. Kemudian beberapa ketua halaqah dikumpulkan untuk melaporkan hasil-hasil gerakannya kepada ketua umum.

Inilah yang disebut pemikiran Hasan Al Banna, tapi beda nama! Sururiyah melakukan ini semua dan mereka adalah Ikhwanul Muslimin.

Diantara kesamaan-kesamaan Sururiyah dan Ikhwanul Muslimin ialah :
1. Sururiyah memegangi prinsip Ikhwanul Muslimin : “Kita saling tolong-menolong pada apa yang kita sepakati dan saling memaafkan pada apa yang kita perselisihkan.”, akan tetapi dengan cara yang berbeda. Mereka merasa cocok dengan dakwah Ikhwanul Muslimin dan meniru Hasan Al Banna, Sayyid Quthub, AL Hadhami dan At Tilmisani yang beraqidah sufi dan asy’ari (Pengaruh Abul Hasan al Asy’ari, red). Tokoh-tokoh itu menamakan diri dengan apa ? Dengan nama Ikhwanul Muslimin ! Bukan dengan nama sufi dan asy’ari, walaupun pada dasarnya mereka adalah asy’ari dan sufi. Oleh karena itu Sururiyah bekerjasama dengan firqah Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, saling memaafkan pada apa yang mereka perselisihkan (termasuk dalam masalah aqidah). Jama’ah Sururiyah berada pada satu barisan dengan firqah (aliran) Tabligh. Ikhwanul Muslimin memasukkan ajaran sufi, asy’ari dan syi’ah. Sementara Sururiyah memiliki satu pemikiran yang sama dengan Ikhwanul Muslimin yaitu “saling memaafkan pada perkara yang mereka perselisihkan”.
2. Sururiyah memiliki satu pemikiran dengan Hasan al Banna dan Sayyid Quthub dalam masalah mengkafirkan golongan lain dan pemerintahan muslim.
3. Sururiyah satu ide dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
4. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta
5. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam hal tanzhim (aturan) dan sistem kepemimpinan yang mengkerucut (seperti piramid). Namanya berbeda, tapi hakikatnya satu.
6. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah politik dan tenggelam dalam politik. Sehingga fatwa-fatwa mereka dibangun diatas dasar pertimbangan politik.

Apa yang bisa dimanfaatkan dari gerakan ini ? Mereka berdalil dengan prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin dan mereka tidak bisa mengambil dalil-dalil syar’i. Dalam perang Afghanistan (melawan Russia, red), mereka meninggalkan Syaikh Jamilur Rahman. Padahal beliau seorang muwahid dan memerangi bid’ah. Namun disebabkan politik kebid’ahan yang ada pada mereka, maka merekapun menahan hukum syariat (tidak ditegakkan, red). Mereka meninggalkan ahli tauhid dan tidak mau bekerjasama dengan ahli tauhid. Akan tetapi mereka tegak bersama ahli bid’ah, sementara Islam mewajibkan mereka untuk bekerjasama dengan ahli tauhid. Dan mereka tidak melakukannya.

Sururiyah yang ditokohi oleh Salman Al Audah dan Safar Hawali semuanya bekerjasama dengan kalangan sufi dan asy’ari seperti Hikmatiyar, Rabbani dan Syah Mahmud. Setelah ketiganya berselisih dan berpecah-belah, mereka menggandeng Hikmatiyar dan Abdur Rabb Ar Rasul Sayyaf karena mereka termasuk golongan Ikhwanul Muslimin dan tidak terpengaruh oleh buku-buku Sayyid Quthub.

Perlu diketahui bahwa Hikmatiyar ini pernah meminta bantuan kepada orang-orang komunis dan ini berlawanan dengan prinsip Sururiyah yang melarang meminta bantuan kepada orang-orang kafir. Namun karena alasan politis mereka membolehkan hal ini !

Ketika Hikmatiyar jatuh dan pemerintahan dipegang orang-orang Taliban, maka Sururiyah memandang negeri ini tidak bermanfaat, lalu mereka memalingkan perhatiannya ke arah lain dan tidak memuji negara yang dikuasai orang-orang Taliban.

Sekarang orang-orang Sururi memfokuskan perhatiannya kepada negara Chechnya yang sedang diserang orang-orang kafir (Rusia, red) – semoga ALLAH menolong para mujahidin dan kaum muslimin disana.

Demikianlah jalan dakwah mereka selalu diwarnai politik. Metode berpolitik ini mereka adopsi dari Hasan Al Banna. Al Banna, kita tahu, selalu menyikapi dalil-dalil syar’i secara politis. Walhasil, dia membiarkan ahli maksiat dan orang-orang fasik dan menyatukan mereka ke dalam satu golongan (partai) dalam rangka merealisasikan konsepnya. Ia mendiamkan ahli maksiat dan orang-orang fasik agar tercipta kondisi yang stabil dan mengokohkan golongannya.

Demikian juga muammalah mereka bersama para saudagar dan orang-orang kaya dengan cara “mendompleng” mereka dalam rangka mengumpulkan dana. Tanpa dana mereka tidak dapat berbuat apa-apa dalam menjalankan roda dakwah sebagaimana Ikhwanul Muslimin dakwahnya tergantung sekali dengan dana.

(Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa Ahammul Waritsin. Penerjemah Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim.)

Menyoal perselisihan ummat

Kesesatan Qaradhawi - Pemecah-belah Ummat


Senin, 26 April 2004 - 04:28:40 :: kategori Manhaj
Penulis: Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini
.: :.
5. Gerakan Memecah-belah Umat

Gerakan memecah-belah umat Islam menjadi beberapa kelompok dan partai adalah rekayasa yang dilancarkan oleh Yahudi dan Nashara. Hati mereka sarat dengan kedengkian kepada kaum Muslimin. Mereka mempraktikkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai). Ini bukan hal yang aneh jika dilakukan oleh Yahudi dan Nashara karena mereka adalah kaum yang telah dicap Allah dengan kesesatan dan berhak untuk mendapat murka Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Katakanlah : “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Ma’idah : 60)
Namun sangat mengherankan jika gerakan memecah-belah umat Islam itu dilakukan oleh beberapa orang dari kalangan umat Islam yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pakar fiqih Islam --meski menurut timbangan Islam ia menyimpang--. Diantara orang yang menularkan pemikiran yang menyimpang tersebut adalah Yusuf Al Qaradhawi. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan Qaradhawi sendiri :
Berulang kali aku nyatakan dalam kitab-kitabku bahwa tidak ada larangan akan banyaknya jamaah yang bekerja untuk Islam, hendaknya ada jamaah yang lebih dari satu dan begitu juga hendaknya ada pergerakan yang lebih dari satu. Yang penting tiap jamaah atau harakah tidak menghancurkan dan tidak mencela yang lain namun mereka semua saling koordinasi untuk kerja sama dalam masalah-masalah besar. Seperti masalah Bosnia, setiap Muslim wajib menolong keadilan dan melawan kedhaliman.

Seperti juga masalah kelaparan di negeri Muslim, wajib bagi setiap jamaah dan pergerakan untuk bangkit membantu negeri tersebut. (Al Islaam wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi, halaman 89)

Membolehkan Banyaknya Firqah Dengan Pemikiran Dan Manhaj Yang Beragam

Yusuf Al Qaradhawi tidak melarang bangkitnya banyak golongan walaupun mereka semua berbeda visi dan misi. Dia mengatakan :
Bila kita mengatakan bolehnya banyak agama sebagaimana dalam pertanyaan yang lalu dan juga bahwa kehidupan itu mencakup lebih dari satu agama atau lebih dari satu peradaban dan kebudayaan. Kenapa tidak dalam satu agama atau dalam satu peradaban mencakup lebih dari satu aliran pemikiran. Tiada larangan dalam hal ini dan yang penting senantiasa ada ajang dan lahan kerja sama yang bisa menampung semua. (Al Islaam wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi, halaman 89)

Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Qaradhawi di harian Ar Raayah :
Beragam (golongan) yang disyariatkan adalah beragam pemikiran dan manhaj yang berdasarkan pada hujjah dan sandaran lalu disokong oleh para pendukungnya. Dan tiada ishlah (kompromi) melainkan dari celah ini. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)

Berpendapat Bahwa Perpecahan Adalah Solusi Damai

Karena masih belum puas dengan pendapatnya yang telah lalu, maka Qaradhawi melanjutkan dengan menjadikan iftiraq (perpecahan) kaum Muslimin menjadi beberapa firqah (kelompok) dan hizib (golongan) sebagai solusi yang damai. Dia mengatakan :
Sesungguhnya keberagaman menjadi satu hal yang penting pada masa sekarang ini karena hal itu sebagai bentuk benteng perlindungan dari tindakan pribadi atau kelompok tertentu yang memegang pemerintahan atau kekuasaan atas seluruh manusia. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)

Perpecahan kaum Muslimin menjadi bermacam-macam kelompok dan golongan adalah jargon yang senantiasa digembar-gemborkan Qaradhawi, seperti pengakuannya :
Aku senantiasa menyebutkan dalam berbagai kitab dan ceramah bahwa tidak ada larangan terhadap munculnya banyak jamaah yang berkhidmat untuk Islam selama persatuan sulit diwujudkan pada mereka karena adanya perbedaan tujuan, manhaj, pemahaman, dan kepercayaan sebagian mereka kepada sebagian yang lain.” (Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)

Lihatlah wahai saudaraku, inilah ucapan Qaradhawi yang mengandung berlipat-lipat kegelapan. Bagaimana mungkin jamaah-jamaah yang banyak ini berkhidmat kepada Islam tanpa ada persatuan bahkan persatuan mereka sulit terwujud seperti yang dikatakan oleh Qaradhawi sendiri? Bagaimana mungkin hal ini akan bisa bermanfaat bagi Islam sedangkan manhaj dan tujuan mereka berbeda-beda? Padahal manhaj Islam adalah satu dan barangsiapa yang membuat manhaj yang menyelisihi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beserta para shahabat apakah hal seperti itu bisa diharapkan untuk memenangkan Islam?

Semoga Allah merahmati Ibnu Hazm ketika mengatakan :
Allah tidak akan memenangkan Islam melalui tangan Ahli Bid’ah.
Untuk mendukung pendapat yang membolehkan perpecahan, pengkotak-kotakan, dan keterceraiberaian kaum Muslimin menjadi berbagai kelompok, golongan, dan jamaah, Qaradhawi mengaburkan pemahaman kaum Muslimin --seperti yang sudah menjadi kebiasaannya--. Qaradhawi berkata :
Sesungguhnya keberagaman (golongan) bukanlah berarti perpecahan. (Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)

Lihatlah wahai saudaraku! Inilah ucapan yang saling bertentangan dan sangat aneh. Demi Allah, jika ada seorang awam ditanya tentang keberagaman yang dibangun dan diperjuangkan oleh Qaradhawi, apakah itu perpecahan ataukah persatuan? Pasti dia akan menjawab tanpa keraguan sedikitpun bahwa itu adalah perpecahan.

Menjadikan Keberagaman Dan Pengelompokan Seperti Perbedaan Shahabat Dalam Memahami Hadits Laa Yushalliyanna Ahadukum Al ‘Ashra Illa Fii Bani Quraizhah (Jangan Kalian Shalat Ashar Kecuali Di Bani Quraizhah)

Perhatikanlah teks ucapan Qaradhawi :
Sesungguhnya keberagaman (golongan) bukanlah berarti perpecahan sebagaimana sebagian perbedaan tidaklah tercela seperti perbedaan pendapat sebagai dampak dari perbedaan dalam masalah ijtihad. Karena itulah dahulu para shahabat juga berbeda pendapat dalam berbagai masalah furu’ (cabang) dan hal itu tidak membahayakan mereka sedikit pun. Bahkan mereka juga sudah berbeda pendapat pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sebagian masalah, misalnya perbedaan tentang shalat Ashar dalam perjalanan ke Bani Quraizhah. Kisah sangat terkenal dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mencela kepada salah satu dari dua kelompok yang berbeda pendapat tadi. Sebagian mengkategorikan perbedaan jenis ini sebagai ikhtilaf rahmat yang sangat luas bagi umat. Dalam hal ini atsar yang mengatakan ikhtilaafu ummatii rahmah (perbedaan umatku adalah rahmat). Dan pada masalah ini ada kitab yang ditulis dengan judul Rahmatul Ummah bi Ikhtilaafil A’immah. (Rahmatnya Umat Dengan Perbedaan Para Pemimpin) [Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995]

Para pembaca yang budiman, apakah termasuk ajaran agama menjadikan perselisihan diantara golongan yang banyak seperti perselisihan shahabat dalam masalah shalat di Bani Quraizhah? Atau di sana ada perbedaan yang mencolok tanpa samar lagi? Sesungguhnya para shahabat radliyallahu 'anhum meniti satu manhaj sedangkan perselisihan seperti ini adalah perbedaan dalam memahami hadits yang mengandung beberapa kemungkinan.
Sedangkan perbedaan yang terjadi di antara kelompok golongan saat ini tidaklah sama dengan perbedaan shahabat dalam memahami hadits tentang shalat di Bani Quraizhah. Golongan-golongan yang ada pada saat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu golongan Islam yang terdiri dari banyak firqah dan golongan sekuler. Lalu, apakah perbedaan dan perselisihan antara kelompok komunis partai Ba’ts, kelompok-kelompok kufur lainnya, dan kelompok-kelompok yang menyandarkan dirinya kepada Islam bisa dikatakan seperti perselisihan yang terjadi di kalangan shahabat dalam memahami sabda Nabi Laa Yushalliyanna Ahadukum Al ‘Ashra Illaa Fii Banii Quraizhah?!

Kalaulah kita umpamakan bahwa perselisihan kelompok yang dikehendaki oleh Qaradhawi adalah perselesihan antara kelompok-kelompok Islam namun ini tetap tidak bisa diterima dari sisi manapun. Sebab manhaj yang wajib dipegang oleh kaum Muslimin secara umum adalah manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni mengambil Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah.

Saat ini, perselisihan terjadi antara kelompok-kelompok Islam dengan pihak-pihak yang membawa manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah yang murni. Apakah perselisihan ini sama dengan perselisihan yang terjadi pada shahabat? Ini tidak benar! Karena manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah tegak di atas tauhid kepada Allah dalam Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ was Shifat serta konsisten dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat. Sedangkan firqah-firqah yang ada sekarang menyelisihi manhaj ini. Misalnya, manhaj ikhwanul muslimin ditegakkan di atas mengabaikan syariat, menjadikan akal sebagai dasar dakwah, menyerukan untuk mencintai ahli kitab, banyak memperolok-olok sunnah, dan lain-lain. Begitu juga dengan manhaj tabligh yang ditegakkan di atas penyimpangan terhadap nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah.

Demikian pula dengan manhaj hizbut tahrir, jihadiyin, takfiriyin, dan firqah-firqah lainnya.
Lantas bagaimana Qaradhawi menjadikan perselisihan, perpecahan, dan pengelompokan yang ada sekarang ini sama dengan perbedaan pendapat di kalangan shahabat dalam masalah shalat Ashar di Bani Quraizhah?

Lalu bagaimana mungkin perselisihan dan perbedaan ini disebut sebagai rahmat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud : 118-119)
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan bahwa orang-orang yang berselisih bukanlah orang-orang yang mendapat rahmat-Nya. Hadits ikhtilaafu ummatii rahmah yang dijadikan dalil oleh Qaradhawi adalah dhaif karena tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Jadi, pengambilan dalil yang dilakukan oleh Qaradhawi adalah tidak benar sama sekali.
Tentang hadits ikhtilaafu ummatii rahmah, As Subki mengatakan : “Hadits ini tidak dikenal oleh para Ahli Hadits dan saya tidak mendapati sanadnya, baik yang shahih, dhaif, maupun yang palsu.”

Syaikh Al Albani rahimahullah berkomentar : “Ahli Hadits telah bersungguh-sungguh dalam melacak sanadnya namun mereka tidak berhasil mendapatkannya.” Dikutip dari Ibnu Hazm rahimahullah dalam Kitab Al Ihkaam Min Ushuulil Ahkaam juz V halaman 64 : “Ini adalah perkataan yang paling rusak karena jikalau perselisihan merupakan rahmat maka pasti kesepakatan merupakan kemurkaan dan ini tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim. Karena yang ada hanyalah kesepakatan atau perbedaan dan rahmat atau kemurkaan.”
Kemudian Syaikh Al Albani rahimahullah menambahkan : “Singkat kata, perselisihan adalah hal yang tercela menurut syariat. Maka wajib berupaya untuk keluar darinya semaksimal mungkin karena hal itu merupakan salah satu sebab dari kelemahan umat ini, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‘Janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.’ (QS. Al Anfal : 46)
Ridha terhadap perselisihan umat dan menamakan perselisihan sebagai rahmat bagi umat adalah pendapat yang menyelisihi ayat-ayat Al Qur’an yang jelas-jelas telah mencelanya. Pendapat ini sangat tidak berdasar kecuali sebuah hadits yang tidak ada asalnya.”

Menganggap Perpecahan Dan Pengelompokan Sama Dengan Banyaknya Madzhab Fiqih

Masih belum puas juga dengan talbis yang telah lalu maka kemudian Qaradhawi terang-terangan mengatakan bahwa kelompok-kelompok dan perpecahan yang ada sekarang ini tidak lain seperti banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. Katanya :
Banyaknya partai/golongan dalam masalah politik serupa dengan banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)

Inilah kedustaan yang mengandung kebimbangan. Sangat besar ucapan yang keluar dari mulutmu, wahai fakihudh dhalal (ahli fiqih yang sesat)! Bagaimana engkau menjadikan perselisihan di antara kelompok-kelolmpok politik yang mengingkari agama dengan kaum Muslimin yang mengagungkan agama seperti perselisihan Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i dalam masalah fiqih?!

Perbedaan pendapat para imam itu disebabkan karena adanya dalil yang mengandung dua sisi kemungkinan dan dua pemahaman atau dengan sebab tidak sampainya suatu dalil kepada salah seorang dari mereka atau dengan sebab shahihnya suatu hadits menurut salah seorang dari mereka dan tidak shahih menurut yang lain atau dengan sebab lainnya yang banyak disebutkan oleh para ulama. Seperti yang dijabarkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab Raf’ul Malam ‘An A’immatil ‘Alam, bahwa manhaj mereka adalah satu yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman shahabat radliyallahu 'anhum serta orang-orang yang meniti manhaj mereka itu.

Sedangkan kelompok-kelompok yang dimaksud oleh Qaradhawi itu semuanya meniti manhajnya masing-masing. Komunis bermanhaj Marxis dan Leninis. Manhaj pengikut Ba’ts adalah manhaj seorang Nashrani Michele Aflaq, manhaj ikhwanul muslimin adalah manhaj demokrasi yang bercampur dengan manhaj mengikuti hawa nafsu dan mengedepankan akal daripada naql serta taklid kepada musuh-musuh Islam dan lain-lainnya. Lalu apakah masih sama perselisihan mereka itu dengan para imam yang semoga Allah merahmatinya? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.

Larangan Berhizib Dan Berfirqah Dalam Al Qur’an Dan As Sunnah

Saudaraku pembaca yang budiman, sesungguhnya Qaradhawi berada di persimpangan jalan antara Al Qur’an dan As Sunnah di satu sisi dan para ulama Islam berada pada sisi yang lain. Agar semakin jelas bagi pembaca bahwa dia telah jauh dari Al Qur’an dan As Sunnah, inilah dalil-dalil tentang larangan berhizib dan berfirqah :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mukminun : 52)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Rum : 32)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat janganlah kalian seperti orang-orang musyrik yang memecah-belah agama mereka :
“Yakni mengganti dan merubah serta beriman kepada sebagian dan kufur dengan sebagian yang lain. Sebagian Ahli Tafsir membaca faaraquu diinahum, meninggalkannya di belakang punggung mereka, mereka itu seperti yahudi dan nashrani , majusi dan para penyembah berhala serta seluruh pemeluk agama sesat dari selain Ahlul Islam, sebagaimana firman Allah :
‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. Al An’am : 159)

Maka para pemeluk agama sebelum kita telah berselisih antara mereka menjadi beberapa pemikiran dan permisalan yang bahtil. Setiap golongan yang mengaku bahwa merekalah yang benar dan umat ini juga telah berselisih dan setiap ajaran adalah sesat kecuali hanya satu, itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan ajaran generasi pertama dari para shahabat, tabi’in, dan A’immah Muslimin dari dahulu sampai sekarang.” (Tafsiir Al Qur’aanul ‘Adhiim III:434)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Asy Syaukani menyebutkan pendapat para ulama adalah tentang siapakah orang-orang yang memecah-belah agama sampai beliau berkata :
“Dikatakan bahwa ayat ini umum pada seluruh orang kafir dan para mubtadi’ yang membawa ajaran yang tidak diperintah Allah. Inilah pendapat yang benar karena lafadh ini sifatnya umum. Maka termasuk di dalamnya adalah golongan ahli kitab, musyrikin, dan ahli bid’ah dari Ahlul Islam. Adapun arti syiya’an adalah firqah-firqah dan hizb-hizb. Maka sesuai dengan setiap umat yang dahulu perkaranya dalam ad din adalah satu kemudian setiap jamaah mengikuti pendapat para pembesarnya yang menyelisihi kebenaran dan Al Haq. Lasta minhum fii syai’in, bukan engkau termasuk dari golongan mereka ataupun mempertanggungjawabkan atas sebab perpecahan, penghiziban mereka sedikitpun.” (Fathul Qadiir pada ayat tersebut di atas)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)
Ibnu Katsir berkata : “Firman Allah jangalah kamu bercerai berai maksudnya Allah memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah.” Kemudian beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah :
“Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara dan membenci tiga perkara. Maka Allah meridhai tiga perkara bila kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berpecah. Dan Allah membenci tiga perkara, banyak berkata dengan katanya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.”

Kemudian beliau berkata : “Mereka telah terjamin dari kesalahan ketika mereka bersepakat sebagaimana disebutkan oleh banyak hadits dan memperingatkan mereka dari perpecahan dan perselisihan. Dan hal ini telah terjadi pada umat ini lalu mereka berpecah menjadi 73 golongan, di antaranya ada satu golongan yang selamat masuk ke Surga dan terbebas dari adzab neraka.

Mereka itulah yang mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran : 105)
“Dan mereka masih tetap berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabb-mu. Dan oleh karena itu Dia menciptakan mereka.” (QS. Hud : 118-119)

Pemahaman dari ayat ini adalah orang yang berpecah dan berselisih bukanlah termasuk orang yang dirahmati Allah. Sebaliknya orang yang bersatu dan bersepakat, merekalah orang yang mendapat rahmat.
Ibnu Katsir berkata :
“Firman Allah wa laa yazaaluuna mukhtalifiina yaitu : Dan perselisihan senantiasa terjadi di antara manusia dalam agama, ajaran, golongan, madzhab, dan pendapat mereka. Ikrimah berkata : ‘Mereka berselisih dalam Al Huda.’ Hasan Al Bashri berkata : ‘Mereka berbeda dalam rezeki, sebagian mereka ditundukkan untuk sebagian yang lain.’ Dan yang masyhur dan shahih adalah yang pertama.’

Dan firman-Nya illaa man rahima Rabbuka yaitu : Kecuali orang-orang yang dirahmati dari para pengikut Rasul yang mereka berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan sesuai dengan apa yang diberikan para Rasul Allah kepada mereka dan langkah mereka terus sampai datangnya penutup para Nabi dan Rasul. Maka mereka mengikuti, membenarkan, dan menolongnya sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)
Hadits dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu dia mati maka ia mati dalam kejahiliyahan.” (HR. Muslim)
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah maka sungguh telah memecah persatuan Muslimin.”
Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata : “Perselisihan adalah kejahatan.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Allah telah mencela perselisihan pada banyak ayat dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
‘Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh.’” (QS. Al Baqarah : 176)

Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat-ayat yang melarang perpecahan dan perselisihan yang telah tersebut sebagiannya sehingga beliau berkata : “Maka tidak ada lagi petunjuk dalam Ad Din kecuali dengan penjelasan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ayat-ayat-Nya sehingga berselisih dalam Ad Din adalah haram.” Setelah menyebutkan ayat-ayat yang diisyaratkan, beliau berkata :
“Apa yang telah kami sebutkan telah cukup (sebagai dalil) bahwa Allah telah menentukan perselisihan sebagai penyimpangan dan kejahatan dan Allah telah melarang perselisihan dan perpecahan dalam Ad Din. Allah juga mengancam perselisihan tersebut dengan siksaan yang berat, dengan hilangnya kekuatan mereka, dan mengabarkan bahwa perselisihan adalah mencerai-beraikan dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan-Nya maka telah terperosok di jalan syaithan.” (Ihkaam fii Ushuulil Ahkam V:67)

Imam Al Khattabi berkata : “Perpecahan itu ada dua macam. Pertama, perpecahan agama dan pemikiran. Kedua, perpecahan personal dan jasmani. Dari kedua perpecahan tersebut, perpecahan dalam agama adalah terlarang menurut akal dan haram secara ushuliyah. Perpecahan ini menyebabkan kesesatan dan kelalaian. Seandainya manusia dibiarkan berpecah-belah pastilah terpecah pemikiran dan ajaran manusia. Dan pastilah akan banyak agama dan pemahaman sehingga diutusnya para Rasul tidaklah mempunyai faidah. Bahkan itulah yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur’an.” (Al Uzlah oleh Al Khattabi, halaman 57)

Imam Asy Syatibi berkata : “Sesungguhnya Al Haq adalah satu, tak berselisih. Sebab apabila Al Haq mempunyai golongan-golongan maka tidaklah dikatakan kecuali hanya satu karena perselisihan telah ditiadakan dalam syariah sama sekali. Justru syariah adalah pemutus antara orang yang berselisih. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).’ (QS. An Nisa’ : 59)
Oleh karena itu, mengembalikan perselisihan haruslah kepada syariat. Seandainya syariat itu menuntut adanya perselisihan maka tidaklah berfaidah pengembalian perselisihan tersebut kepada syariat. Adapun kata fii syai’in, lafadh ini nakirah dalam bentuk syarat merupakan salah satu bentuk yang mengandung keumuman dan mencakup segala macam perselisihan. Maka pengembaliannya kepada syariat adalah mengembalikan kepada perkara yang satu dan tidak diperkenankan adanya bermacam firqah dan Ahlul Haq.

Firman Allah :
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.’ (QS. Al An’am : 153)
Ayat ini merupakan nash dalam hal yang kita bicarakan bahwa jalan yang satu tidak memperkenankan adanya perselisihan, berbeda dengan jalan-jalan yang berlainan arah.” (Al I’tishaam II:249)

Telah penulis sebutkan perkataan beberapa ulama tafsir tentang ayat yang berkaitan dengan larangan perpecahan dan perselisihan. Begitu pula peringatan para ulama pada zaman sekarang ini terhadap al hizbiyah dan al firqah di pelbagai buku dan kaset mereka sesuai dengan jalan ulama pendahulu mereka. Berikut sebagian dari peringatan tersebut.

Asy Syaikh bin Baz rahimahullah berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah dalam masyarakat Muslim adalah tujuan utama syaithan dan orang-orang yang memusuhi Islam. Hal ini disebabkan karena adanya kesepakatan dan persatuan serta kewaspadaan kaum Muslimin akan bahaya yang mengancam dan mengarah kepada aqidah menjadikan mereka giat untuk melawan hal tersebut dan bekerja sama dalam satu barisan untuk kemaslahatan Muslimin serta menghindarkan mara bahaya dari Ad Din, negeri, dan saudara-saudara mereka.

Ini adalah jalan yang tidak disukai oleh para musuh Islam dari jin dan manusia, oleh karena itu mereka berusaha untuk memecah-belah persatuan Muslimin dan mencerai-beraikan barisan mereka serta menebar benih-benih permusuhan di antara kaum Muslimin. Mudah-mudahan Allah senantiasa menyatukan kalimat Muslimin di atas Al Haq dan menghilangkan segala fitnah dan kesesatan dari mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang menjamin dan berkehendak atas semua itu.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqaalaat Asy Syaikh Ibn Baaz V:203-204)

Syaikh Al Albani rahimahullah, Imam Ahlus Sunnah pada zaman ini ditanya tentang masalah sebagai berikut :
“Bagaimana hukum syar’i tentang berbagai macam jamaah, hizb, dan pergerakan Islam yang berbeda manhaj, uslub dakwah, aqidah dan asas karena jamaah yang haq hanya satu sebagaimana ditunjukkan oleh hadits?”
Syaikh menjawab : “Tidak tersamar lagi bagi setiap Muslim yang mengetahui Al Qur’an, As Sunnah, dan amalan para Salafus Shalih bahwa berhizb dan bergabung dalam jamaah yang berbeda pemahaman, manhaj dan uslub bukan dari ajaran Islam sedikitpun, bahwa hal tersebut dilarang oleh Rabb kita dalam beberapa ayat Al Qur’an.”

Kemudian beliau menyitir ayat-ayat yang telah lalu dan menganjurkan untuk berpegang dengan manhaj Salaf dan memberikan peringatan dari menyelisihi manhaj tersebut. Beliau berkata :
“Oleh karena itu kami berkeyakinan dengan pasti bahwa setiap jamaah yang tidak berlandaskan asas dari Al Qur’an, As Sunnah, dan manhaj Salafus Shalih yang mencakup segala hukum Islam, baik yang besar ataupun yang kecil, ushul dan furu’-nya maka jamaah ini bukanlah termasuk Al Firqatun Najiah yang berjalan di atas Shiraathal Mustaqiim.
Kami tidak berkeyakinan bahwa hizb-hizb ini berada di atas Shiraathal Mustaqiim, bahkan kami memastikan bahwa mereka berada di atas jalan-jalan yang dipimpin oleh syaithan-syaithan yang mengajak mereka untuk mengikutinya.” (Fataawaa Asy Syaikh Al Albani 106-114)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Adakah terdapat nash-nash dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang membolehkan bermacam-macamnya jamaah Islamiyah?”
Beliau menjawab : “Hal tersebut tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah bahkan di dalamnya terdapat pencelaan terhadap hal tersebut. Allah berfirman :
‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. Al An’am : 159)

Dan firman-Nya :
‘Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dengan apa yang ada pada golongan mereka.’ (QS. Ar Rum : 32)
Tidak syak lagi bahwa hizb-hizb ini bertentangan (berlawanan) dengan perintah Allah dan anjuran-Nya. Firman Allah :
‘Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu maka bertakwalah kepada-Ku.’ (QS. Al Mukminun : 52)
Terhadap perkataan sebagian dari mereka : ‘Sesungguhnya dakwah tidak mungkin menjadi kuat kecuali apabila berada di bawah sebuah hizb.’ Kami menjawab ini tidak benar. Dakwah akan menjadi kuat apabila seseorang bernaung di bawah Al Qur’an dan As Sunnah serta mengikuti atsar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin.

Banyaknya jamaah adalah fakta buruk bukan fakta yang benar (sehat). Dan menurut pendapatku, hendaknya umat ini menjadi satu hizib bernaung di bawah Al Qur’an dan As Sunnah.” (Ibn Utsaimin, Ash Shahwah Al Islaamiyah 154-155)

Syaikh Shalih Al Fauzan rahimahullah ditanya tentang hukum jamaah-jamaah (golongan-golongan) dalam Islam. Maka beliau menjawab : “Perpecahan bukanlah dari Ad Din karena ia memerintahkan kita untuk bersatu dan menjadi satu jamaah dan satu umat yang berlandaskan aqidah tauhid dengan meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian beliau menyitir ayat-ayat tersebut sampai beliau berkata :
“Jamaah-jamaah dan perpecahan yang terjadi di dunia Islam pada saat ini tidak diakui oleh Din Islam bahkan sangat dilarang. Dan Islam menganjurkan untuk bersatu di atas aqidah tauhid dan manhaj Islam menjadi satu jamaah dan satu umat sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan perpecahan dan banyaknya jamaah tidak lain hanyalah perangkap syaithan dari kalangan jin dan manusia terhadap umat ini.” (Syaikh Rabi’, Jama’ah Waahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraath Waahid Laa ‘Asyaraat halaman 183-184)

Dalam kitab-kitab dan makalah-makalah, beberapa ulama telah memperingatkan umat dari bahaya dan kebathilan berhizb. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah telah menulis risalah khusus dengan judul Al Baraa’ah minal Hizbiyah. Risalah yang bermanfaat ini telah dicetak dan terdapat di dalam Kitab Qam’ul Mu’aanid. Saya menyarankan kepada para thalabul ilmi untuk membacanya.

Al Qaradhawi Mengingkari Nash-Nash Yang Melarang Berfirqah Dan Berhizib

Saudaraku pembaca yang budiman, telah kita simak bersama ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang banyak menyebutkan haramnya berhizib. Demikian pula dengan perkataan dan fatwa para ulama, semua menyatakan haramnya perselisihan dan perpecahan. Janganlah heran apabila penulis berkata bahwa Qaradhawi mengingkari adanya nash-nash yang melarang berhizib dan berfirqah karena Qaradhawi pernah berkata :
Pendapat yang aku umumkan semenjak bertahun-tahun dalam ceramah-ceramah umum dan pertemuan-pertemuan khusus bahwa tidak ada larangan syar’i dari adanya berbagai macam hizib siyasi (partai politik) di negara Islam. Karena larangan syar’i membutuhkan adanya nash dan tidak ada nash yang melarang hal tersebut. (Harian Ar Raayah nomor 472, 23 Februari 1995 M)
Pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita betapa jauhnya pijakan Qaradhawi dari Al Qur’an dan As Sunnah serta penentangannya terhadap para ulama Islam! Hal ini menunjukkan beberapa hal : Pertama, kemungkinan Qaradhawi jahil terhadap Al Qur’an dan As Sunnah serta jarang menelaah perkataan Ahlul Ilmi. Maka seharusnya dia tidak layak mengeluarkan fatwa karena pendapat orang jahil hanya akan menyesatkan manusia. Kedua, mungkin Qaradhawi telah mengetahui dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah tapi tidak mau mengindahkan dan merenunginya. Maka tidak boleh bagi umat Islam untuk mengambil perkataan dari orang model ini dan memberikan kedudukan kepadanya. Kedua kemungkinan tersebut sama-sama pahitnya (berbahaya).

Tidak Mencegah Berdirinya Partai Kristen Di Negeri Islam

Alangkah baiknya jika Qaradhawi menghentikan pendapatnya yang bathil sampai di sini saja. Tetapi dia malah menambah parah kebathilannya dengan menyatakan bahwa tidak ada larangan terhadap berdirinya partai (hizib) kristen di negara Islam. Hal ini disampaikan ketika menanggapi larangan pemerintah Mesir atas berdirinya partai berlandaskan agama tapi mengizinkan partai komunis yang mengingkari agama.

Lalu disampaikan bantahan kepada Qaradhawi : “Apabila dikatakan bahwa hal ini bisa menyebabkan timbulnya tuntutan kalangan nashrani untuk mendirikan sebuah partai, penjelasannya adalah dikatakan kepada orang-orang Islam yang menuntut adanya partai di sini, perbuatan kalian mendorong kalangan kristen untuk menuntut berdirinya partai kristen.”
Qaradhawi menjawab bantahan itu sebagai berikut :
Secara pribadi saya tidak menentang adanya partai kristen untuk menampung aspirasi mereka walaupun partai Islam telah membuka keanggotaannya bagi kaum Muslimin dan non Muslim. (Al Islaam Wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi halaman 61)

(Sumber : Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari'at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)

Dikutip lengkap dari : http://salafy.cjb.net/