Ya Allah, berilah petunjuk dan rahmat untuk para pemimpin kami, selamatkanlah kami dari fitan, ampunanilah kami & mereka

Selasa, 10 Maret 2009

Terapi dari Haus Kekuasaan

Haus Kekuasaan
Selasa, 03-Maret-2009, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Lain dulu lain sekarang. Mungkin ungkapan ini cocok dengan keadaan kaum muslimin pada hari ini. Mereka telah terhempas jauh dari tuntunan Allah -Ta’ala-, dan Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- . Besarnya gelombang syahwat dan syubhat membuat mereka terpisah jauh dari panutan mereka yaitu para sahabat nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para shalafush shaleh. Mereka beraqidah, bukan dengan aqidah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka beribadah, bukan dengan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Mereka bermu’amalah, bukan dengan mu’amalah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabat. Akhirnya, Allah Ta’ala membiarkan mereka memilih jalannya sendiri dan memalingkan mereka dari kebenaran, kemana mereka mau berpaling sebagai hukuman kepada mereka atas kedurhakaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan akibat mereka tidak mau mengikuti jalannya para sahabat.

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Barang siapa yang durhaka kepada Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman (para sahabat) Kami biarkan dia dalam kesesatannya dan kelak kami akan masukkan mereka ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’ :115)

Jika kita mau memperhatikan kondisi kaum muslimin pada hari ini dan membandingkannya dengan para sahabat dan pengikut mereka yang setia, maka kita akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh. Pada hari ini, kaum muslimin berlomba-lomba dan haus kekuasaan untuk mendapatkan jabatan dan menjadi pemimpin. Padahal para salaf terdahulu menjauhi dan menghindarinya.

Segala cara mereka tempuh, tanpa peduli lagi dengan halal tidaknya. Maka nampaklah gambar-gambar mereka terpampang di setiap sudut jalan dengan kata-kata yang menggoda berharap agar mereka dipilih oleh masyarakat. Mulai dari orang kaya sampai guru ngaji; yang tua maupun yang muda, semua berebut kursi jabatan. Sungguh sial para pengemis kekuasaan tersebut; mereka telah menghamburkan harta dimana-mana demi meraih kekuasaan. Andaikan harta yang mereka hamburkan dalam pesta demokrasi itu mau dikumpulkan, lalu disedekahkan di jalan Allah, niscaya banyak orang yang akan merasakan manfaatnya. Tapi demikianlah setan menghiasi kehidupan dunia ini dengan segala macam tipuannya untuk membinasakan manusia, dan membuat mereka rugi di dunia.

Para salafush shaleh terdahulu sangat takut jika mereka diberikan kekuasaan. Sebab mereka tahu dan pahami besarnya konsekuensi dan pertanggung jawaban kekuasaan kelak di sisi Allah -Ta’ala-

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ingatlah, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir (pemimpin masyarakat) yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang rakyatnya". [HR. Bukhari (5200) dan Muslim (4701)]

Seorang yang mau menjadi pemimpin dan penguasa, harus mengetahui betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang amat berat dipundak, dan tanggung jawab yang amat besar di sisi Allah, sebab ia harus menunaikan hak orang banyak, dan berbuat adil kepada mereka sebagaimana halnya mereka ingin agar rakyat menunaikan tugasnya di hadapan dirinya. Sungguh tugas ini amat berat digenggam, dan amat berbahaya. Tak heran jika Panutan kita, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengingatkan kita tentang bahayanya kekuasaan, dan orang yang memintanya.

Abdur Rahman bin Samuroh -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadaku,

يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ, فَإِنَّكَ إِنْ أُوْتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا, وَإِنْ أُوْتِيْتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

"Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan oleh Allah & tak akan ditolong, pent.). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, maka engkau akan ditolong". [HR. Al-Bukhoriy (6622, 6722, 7146, & 7147), dan Muslim (4257, & 4692)]

Abu Musa Al-Asy’ariy-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

دَخَلْتُ عَلَى النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ بَنِيْ عَمِّيْ, فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ, وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ, فَقَالَ: إِنَّا,وَاللهِ ! لاَ نُوَلِّيْ عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

"Aku pernah masuk menemui Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersama dua orang sepupuku. Seorang diantara mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemimpin dalam perkara yang Allah -Azza wa Jalla- berikan kepadamu. Orang kedua juga berkata demikian. Maka beliau bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula orang yang rakus kepadanya". [HR. Al-Bukhoriy (7149), dan Muslim (1733)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

لَنْ أَوْ لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ

"Kami tak akan mempekerjakan dalam urusan kami orang yang menginginkannya". [HR. Al-Bukhoriy (2261, 6923, & 7156), dan Muslim (1733)]

Seorang yang meminta kekuasaan dan rakus terhadapnya akan mengalami penyesalan, sebab ia bukan ahlinya. Kekuasaan menjadi sebuah kenikmatan sementara, sedang kesusahan dan tanggung jawab akan menanti di Padang Mahsyar.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الفَاطِمَةُ

"Sesungguhnya kalian kelak akan rakus terhadap kekuasaan, dan kekuasan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Kekuasaan adalah sebaik-baik penetek(yakni, awalnya penuh kelezatan dan kenikmatan, pent.), dan sejelek-jelek penyapih (yakni, di akhirnya, saat terjadi kudeta, dan pertanggungjawaban di hari akhir, pent.)". [HR. Al-Bukhoriy (6729), dan An-Nasa’iy (4211 & 5385)]

Sungguh nasihat dan wejangan berharga ini seyogyanya menjadi peringatan bagi kaum muslimin tentang beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Hendaknya jangan berani meminta kekuasaan. Sebelum seorang diberi kekuasaan dan tanggung jawab, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan takut akan azab-Nya dengan membentengi diri mereka dengan ilmu sebelum menjadi pemimpin.

Seorang ulama’ tabi’in, Al-Ahnaf bin Qois Al-Bashriy -rahimahullah- berkata, “Umar bin Khattab pernah mengatakan kepada kami, “Pelajarilah ilmu agama sebelum kalian memegang kekuasaan”. Sufyan berkomentar, “Karena seseorang yang telah mengetahui ilmu agama, ia tidak akan berhasrat lagi mengejar kekuasaan.” [Lihat Shifatush shafwah (2/236)]

Demikian pula para salaf yang lain, mereka sangat takut jika diberi kekuasaan. Al-Miswar bin Makhromah-radhiyallahu ‘anhu- bekata, “Ketika Abdur Rahman bin Auf diberi mandat dalam majlis syura (dewan musyawarah pemilihan khalifah dari kalangan ulama yang cerdik dan pandai). Beliau adalah orang yang paling kuidamkan untuk menduduki jabatan khalifah. Kalau beliau enggan, sebaiknya Sa’ad. Tiba-tiba Amru bin Ash menjumpaiku dan berkata, “Apa kira-kira pandangan pamanmu Abdur Rahman bin Auf, kalau ia menyerahkan jabatan ini kepada orang lain, padahal dia tahu bahwa dirinya lebih baik dari orang itu?”. Aku segera menemui Abdurrahman dan menceritakan kepada beliau pertanyaan itu. Beliau lalu berkomentar, “Seandainya ada orang meletakkan pisau dileherku lalu menusuknya hingga tembus, itu lebih kusukai daripada menerima jabatan tersebut”. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (1/87-88)].

Utsman bin Affan pernah mengeluh karena mimisan (keluar darah dari hidung), lalu beliau memanggil Humran. Beliau berkata, “Tuliskan mandat untuk Abdurrahman untuk menggantikan aku bila aku meninggal". Maka Humran pun menuliskan mandat itu. Setelah itu, Humran datang menjumpai Abdur Rahman seraya berkata, “ Ada kabar gembira”. Abdur Rahman bertanya, “Kabar apakah itu?”. Humran berkata, “Utsman telah menuliskan mandat untuk anda sepeninggalannya”. Abdur Rahman pun segera berdiri di antara makam dan mimbar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- (yakni, di Raudhah), lalu berdo’a, “Ya Allah apabila penyerahan jabatan dari Utsman sepeninggalnya betul-betul terjadi, maka matikanlah aku sebelum itu”. Tak lebih enam bulan berselang, beliau pun wafat. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (1/88)]

Yazib bin Al-Muhallab ketika diangkat sebagai gubernur Khurasan, ia membuat pernyataan, “Beritahukanlah kepadaku tentang seorang laki-laki yang memiliki kepribadian yang luhur lagi sempurna”. Beliau lalu dikenalkan kepada Abu Burdah Al-Asy’ariy. Ketika Sang Gubernur menemui Abu Burdah, ia mendapatinya sebagai seorang lelaki yang memiliki keistimewaan. Ketika Abu Burdah berbicara, ternyata apa yang ia dengar dari ucapannya lebih baik dari apa yang ia lihat dari penampilannya. Sang Gubernur lantas berkata, “Aku akan menugaskanmu untuk urusan ini dan ini, yang termasuk dalam kekuasaanku". Abu Burdah meminta maaf karena tidak bisa menerimanya. Namun Sang Gubernur tidak menerima alasannya. Akhirnya Abu Bardah pun berkata, “Wahai Gubernur, sudikan anda mendengarkan apa yang disampaikan oleh ayahku? Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda”. Gubernur berkata, “Sampaikanlah”. Abu Bardah berkata, “Sesungguhnya Ayahku (Abu Musa Al-‘Asy’ariy) telah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:

“Barang siapa yang ditugaskan untuk memikul suatu pekerjaan yang dia tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam pekerjaan tersebut, bersiap-siaplah ia masuk ke dalam neraka”.

Aku bersaksi wahai Gubernur, "Bahwa aku bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam urusan yang anda tawarkan". Sang Gubernur justru berkata, “Dengan ucapanmu itu, kamu justru membuat kami makin berhasrat dan senang menaruh kepercayaan kepadamu. Laksanakanlah dengan segala tugas-tugasmu. Kami tidak bisa menerima alasanmu”. Maka lelaki itu pun menjalankan tugasnya di antara mereka selama beberapa waktu. Lalu ia meminta ijin untuk dapat menemui Gubernur, dan ia diijinkan. Lalu ia berkata, “Wahai Gubernur, sudikan anda mendengarkan apa yang disampaikan ayahku kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “terlaknatlah orang yang meminta atas nama Allah. Terlaknatlah orang yang diminta atas nama Allah, lalu tidak mengabulkan permintaan si peminta, selama ia (si peminta) tidak meminta perkara yang memutuskan persaudaraan”.

Sekarang aku minta atas nama Allah untuk tidak menjalankan tugas lagi, dan memaafkan saya atas pekerjaan yang telah saya lakukan.” Maka sang Gubernur pun menerima alasannya. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (4/345)]

Sufyan berkata, “Aku tidak pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap kekuasaan. Kita bisa dapati orang zuhud dalam hal makanan, minuman, harta, dan pakaian, namun kalau kita berikan kepadanya kekuasaan, ia akan mempertahankannya dan berani bermusuhan membelanya”. [Lihat Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (7/262)]

Itulah sebagian dari nasihat dan mutiara hikmah dan petuah salafush shaleh yang tinggi mutunya, mahal harganya, dan besar faedahnya. Kalimat yang muncul dari lisan generasi terbaik umat ini. Yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in -radhiyallahu anhum-.

Allah -Ta’ala- berfirman ketika memuji mereka,

“Orang-orang yang terduhulu lagi pertama dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah dan Dia menyiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya. Itulah kemenangan yang besar”. ( QS. At-Taubah: 100)

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Allah mengabarkan tentang ridhonya kepada orang-orang beriman dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta keridhoan mereka kepada Allah. Dengan apa yang Allah telah siapkan mereka berupa surga-surga yang nikmat dan kenikmatan yang abadi [Lihat Tafsir Al-Qur’anil Adzim (2/398)]

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian setelahnya (tabi’in), kemudian setelahnya (tabi’ut-tabi’in)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Asy-Syahadat (2509), dan Muslim dalam Fadho’il Ash-Shohabah (2533)]

Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang keutamaan dan kedudukan yang agung yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik. Karena itu, hendaknya kita menjadikan mereka sebagai panutan dan suri teladan yang baik. Merekalah yang dikenal dengan "Salafush Sholih" (Pendahulu yang Baik)

Alangkah indahnya ucapan Abdullah bin Mas’ud-radhiyallahu ‘anhu-, “Barangsiapa yang ingin mengambil teladan maka hendaklah ia mengambil teladan pada orang yang telah meninggal (yakni, para sahabat), sebab orang yang masih hidup tidaklah aman dari ujian. Mereka adalah para sahabat nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, mereka adalah manusia terbaik umat ini, yang paling bagus hatinya, yang paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka! Ikutilah jalan mereka, dan berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka berada pada petunjuk yang lurus [HR. Abu Nua’im dalam Al-Hilyah (1/305)]

Al-Imam Abu Amer Al-Auza’iy-rahimahullah- berkata, “Sabarkanlah dirimu di atas sunnah. Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Berucaplah dengan apa yang mereka ucapkan, tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan salafush shalehmu (pendahulumu yang shaleh). Karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka”. [HR. Al-Lalikaa’iy dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah (no.315), Al-Ajurriy dalam Asy-Syari’ ah (1/148)]

Inilah beberapa buah petikan nasihat dari kehidupan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang jauh dari ketamakan terhadap kekuasaan. Mereka amat takut menerima kekuasaan; berbeda dengan orang-orang di akhir zaman ini, mereka berlomba-lomba meminta kekuasaan dengan berbagai macam dalih, seperti "Demi Islam". Padahal semuanya demi kursi!! Islam tak butuh kepada perjuangan yang jauh dari petunjuk Islam. Fa’tabiruu ya ulil abshor.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 98 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=329#more-329

Adab Berkendaraan

Adab-adab Berkendaraan

Ahad, 15-Februari-2009, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka nikmat Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga mereka pun bisa membuat berbagai macam dan ragam kendaraan. Dahulu mereka cuma mengendarai binatang-binatang berupa keledai, kuda, dan lainnya. Kemudian mereka wujudkan semua itu dalam bentuk kendaraan yang lebih bagus, lebih kuat, lebih indah dan lebih cepat dengan adanya sepeda, motor, mobil, pesawat, dan lainnya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya". (QS. An-Nahl: 8).

Dengan adanya berbagai macam nikmat tersebut, hendaklah kita -sebagai orang-orang yang beriman-, senantiasa mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Bukan hanya mengingat bagaimana nikmatnya naik kendaraan, cepatnya sampai ke tujuan, dan bukan pula karena bagusnya kendaraan tersebut. Bahkan seyogyanya kita mengingat dan mensyukuri nikmat tersebut.

Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa dalam berkendaraan pun terdapat adab-adab. Nah, sebagai bukti kesyukuran kita terhadap nikmat-nikmat itu, maka kita dituntut untuk mengamalkan beberapa adab-adab yang syar’i ketika berkendaraan:

  • Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan

Seorang dianjurkan ketika awal memulai perjalanan agar membaca do’a naik kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita selalu mengingat Allah yang telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita kendaraan tersebut. Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:

Ali bin Robi’ah berkata, Aku menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan (kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada kendaraan, ia berkata, "Bismillah". Tatkala beliau berada di atas punggungnya, beliau berkata, "Alhamdulillah". Kemudia beliau berdo’a,

Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza wamaa kunna lahu muqriniin

Kemudian beliau mengucapkan, "Alhamdulillah" sebanyak tiga kali ; lalu mengucapkan,"Allahuakbar" sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,

سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فاَغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ

Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa. Beliau ditanya, "Kenapa Anda tertawa?" Beliau menjawab, "Aku telah melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan apa yang aku lakukan, lalu beliau tertawa…". [HR. Abu Dawud (2602), At-Tirmidziy (3446), dan An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (8799, 8800, & 10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Mukhtashor Asy-Syama’il Al-Muhammadiyyah (198)]

  • Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan

Wajib bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu". (QS. An-Nisaa’: 56).

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

"Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat, maka tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) & Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]


Al-Imam Abul ‘Ula Al-Mubarokfuriy-rahimahullah- berkata, "Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka wajib (ditaati). Al-Muthohhar berkata, "Maksudnya, mendengarkan dan mentaati ucapan penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim, sama saja apakah penguasa memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh taat kepadanya (saat itu, –pent). Namun tak boleh baginya memerangi penguasa". [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/298)]

Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.

Seorang ulama kota Madinah dan mantan Rektor Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhahullah- dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di jalan-jalan adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi hukumnya berubah karena ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa memerintahkan sesuatu yang mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits di atas !!

  • Tidak Ugal-ugalan di Jalan Raya

Seseorang hendaklah memperhatikan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain ketika berkendara. Jangan sampai kita menjadi sebab tertumpahnya darah seseorang serta rusaknya harta saudara kita. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ دِمَاؤَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ

"Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram (mulia) atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1218)]

Jadi, darah dan harta seorang muslim adalah haram kita ganggu, apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena harta dan darah seorang muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah.

Ada kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan "kelincahan" (baca: kenakalan) mereka dalam mengendarai motor atau mobil di jalan raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan membuat takut bagi kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang sehingga orang-orang merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan suara meriam. Padahal di dalam Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita mengagetkan seorang muslim.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur sebagian sahabat yang menyembunyikan tongkat saudaranya sehingga ia panik,

لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim". [HR. Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)]

Kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah temannya, jika dibanding dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar seperti ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat !!

  • Merawat Kendaraan dan tidak Membebani Melebihi Kapasitasnya

Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah kita merawatnya dengan baik dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati. Sebagaimana binatang ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih dari kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak membebaninya lebih kemampuannya.

Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, "Beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أَفَلَا تَتَّقِي اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَّكَ اللهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَى إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ

“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (342),dan Abu Dawud dalam As-Sunan ( 2549 ).

Jadi, seorang muslim tidak boleh membebani kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau rusak. Kita juga harus memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana halnya jika kendaraan berupa hewan, maka kita harus memperhatikan makanan, dan perawatannya. Kendaraan yang kita miliki harus kita rawat dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani melebihi kapasitas kemampuan yang telah ditetapkan baginya.

  • Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berhaji,

وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ رُوَيْدَكَ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيْرِ

"Wahai Anjasyah, celaka engkau ! Pelanlah engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy (6149, 6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]

Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang makna hadits ini, "Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan dalam berjalan, karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia akan cepat dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya kaget, dan penat. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarangnya dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya mereka". [Lihat Syarh Shohih Muslim (15/81)]

Maka sepantasnya ketika berkendaraan, kita tenang dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan. Boleh mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas sehingga ia dianggap terburu-buru, jika ada kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.

  • Memberi Hak kepada Jalanan

Jalanan juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi. Karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berwasiat kepada para sahabatnya ketika seseorang duduk di pinggir jalan, "Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan". Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, "Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah haknya jalan". Mereka bertanya, "Apa haknya jalan?" Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

"(Haknya jalan adalah) menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mugkar". [HR. Al-Bukhoriy (6229), dan Muslim (2121)]

Jadi, haknya jalanan ada 5: menundukkan pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya, tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu sholat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar (misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat di jalan, dan lainnya)

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 59 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=258

Menyoal Maulid-5

Mereka Bertanya tentang Maulid Nabi (2)

posted in Aqidah & Manhaj |

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Ustadz-ustadz kami mengatakan bahwa memperingati Maulid Nabi merupakan bukti kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam….

Cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga cinta Kepada Allah Subhanahu Wata’ala dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti ajarannya) bukan dengan ibtida’ (mengada-adakan kebid’ahan). Allah berfirman (yang artinya),

“Katakanlah (Wahai Nabi): “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran:31)

Demikian juga cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dibuktikan dengan mendudukkan beliau kepada kedudukannya yang mulia sebagai panutan, ikutan, dan teladan yang kita jadikan contoh, bukan mengangkatnya secara berlebihan dan melampaui batas dengan memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya),

“Jangan kalian puji aku berlebihan sebagaimana kaum Nashara memuji Isa bin Maryam. Hanya saja aku ini adalah hamba Allah, maka katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya”" (Hadits riwayat Bukhari)

Memuji dengan berlebihan seperti kaum Nashara adalah dengan menjadikan tuhan, atau anak tuhan atau “satu yang tiga, tiga yang satu”. Yakni memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada Isa Alaihis Salam.

Dan juga Allah berfirman (yang artinya),

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hamba-Nya, seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Ilah kalian itu adalah Ilah Yang Maha Esa”" (Al Kahfi:110)

Yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan utuk menyatakan dirinya sebagai manusia yaitu makhluk yang Allah ciptakan, tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan baik uluhiyah maupun rububuyah. Hanya saja beliau adalah manusia pilihan (Al Musthofa) dan manusia terbaik yang Allah Azza Wa Jalla angkat sebagai Rasul serta mendapatkan wahyu.

Tapi kami tidak menuhankan dan tidak meyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah Rabb yang menguasai alam semesta dan menyatakan beliau sebagai anak tuhan seperti Nashrani?

Alhamdulillah, itu bukti kalau kalian masih muslim. Berarti apa yang kalian ucapkan, dalam bait-bait syair pujian kepada Nabi dengan tidak sadar dan dengan tidak memahami artinya.

Perlu kalian ketahui, sesungguhnya menuhankan Nabi itu dengan 2 model:

Pertama, mensifati beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sifat yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Kedua, memperlakukan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti memperlakukan Allah Subhanahu Wata’ala.

Kedua bentuk penuhanan Nabi terdapat dalam syair-syair pujian kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang biasa mereka baca ketika perayaan Maulud Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti Nadham Al Bushiri, ia mensifati Rasul dengan sifat-sifat Allah:

1. Menganggap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui hal-hal ghaib yang tercatat di Lauhul Mahfudz, yaitu ucapan mereka:

Dan termasuk ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfudz dan ilmu al qalam

Yakni yang dimaksud adalah ilmu yang terdapat di Lauhul Mahfudz yang ditulis dengan pena, yakni ilmu tentang apa-apa yang Allah takdirkan dan Allah tuliskan.

“Sesungguhnya awal pertama Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfrman, “Tulislah!”. Maka pena berkata “Apa yang aku tulis?”. Allah berfirman, “Tulislah taqdir-taqdir segala sesuatu apa yang tela terjadi dan apa yang akan terjadi sampai akhir masa”" (Hadits riwayat Tirmidzi, Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Jami’at Tirmidzi no 2155)

Kalau kalian menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mempunyai ilmu ini, berarti kalian menganggap bahwa Rasulullah mengetahui hal-hal yang ghaib. Padahal Allah telah berfirman mengisahkan RasulNya (yang artinya)

“Dan aku (Rasul) tidak mengatakan keepada kalian (bahwa) aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang ghaib, dan tidak pula aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat….” (Huud:31)

Dan juga dalam firman-Nya (yang artinya)

“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri….” (Al An’aam:59)

Allah Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mengikrarkan bahwa dirinya tida mengetahui hal-hal yang ghaib tersebut. Allah berfirman (yang artinya)

“Katakanlah (wahai Nabi), “Aku (Rasul) tidak berkuasa menentukan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tIdak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”" (Al ‘Araf:188)

2. Menganggap bahwa keberadaan langit dan bumi adalah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti pada potongan pertama bait di atas, yakni:

Dan sesungguhnya karena kedermawananmulah adanya dunia dan pasangannya (langit)

Kalau seluruh langit dan bumi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka apa sisanya yang merupakan milik Allah?

Berkata Ibnu Rajab, “Sesungguhnya dia (Bushiri) tidak menyisakan sedikitpun untuk Allah, jika dunia dan akhirat dari Rasulullah” (Kutub laisat minal Islam oleh Istanbuli hal 16;lihat Irsyadul Bariyyah, hal 85)

Bukankah ada hadits Qudsi yang menyatakan “Jika bukan karena engkau, tidaklah aku ciptakan alam semesta”??

Memang ada hadits yang mrip seperti itu, yaitu

“Datang kepadaku Jibril seraya berkata (menyampaikan ucapan Allah), “Wahai Muhammad, kalau bukan karena engkau, tidak Aku ciptakan surga. Dan kalau bukan karena engkau, tidak aku ciptakan neraka”-dalam riwayat Ibnu Syakir “Kalau bukan karena engkau tidak aku ciptakan dunia”"

Namun hadits ini adalah hadits yang palsu (Maudhu’). Syaikh Al Albany menyebutkannya dalam As Silsilah Al Hadits Ad Dhaifah, hadits 282.

Ini kalau ditinjau dari sisi matan (isinya) jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an yang menyatakan tentang hikmahnya penciptaan langit dan bumi adalah untuk beribadah kepada Allah dan menguji manusia:

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan Dia adalah Arsy-nya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kalian yang lebih baik amalnya….” (Huud:7)

Dan firman-Nya (yang artinya)

“Dan aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” (Ad Dzariyat:56)

Adapun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan untuk menyatakan bahwa dirinya tidak bisa menentukan manfaat dan mudharat.

Demikian pula menuhankan Nabi dengan memperlakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti Allah dnengan mengarahkan kepadanya bentuk-bentuk ibadah seperti do’a, isti’anah, istghotsah, dan lain-lain. Ini juga terdapat pada syair-syair yang kalian baca:

  1. Memanggil dengan menyerunya seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Maha Mendengar dan Maha Melihat, seperti seruan kalian dalam acara tersebut: Ya Habiballah, Ya Nabiyallah, Ya Nurul’Aini, Ya Jaddal Husaini. Kalian seakan-akan mengajak berbicara Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika masih hidupnya atau seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hadir di hadapan kalian.
  2. Berdoa meminta keselamatan dunia dan akhirat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seakan-akan beliau adalah Mujibus Sailin (Pengabul Do’a), seperti ucapan kalian,”Wahai semulia-mulia makhluq, aku tidak mendapati bagiku seorang pelindug selain engkau ketika terjadi bencana yang merata.”. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri menyatakan (yang artinya), “Tidak ada tempat bersandar, tidak ada tempat menyelamatkan diri, kecuali pada engkau (Allah).”
  3. Menganggap bahwa Ruh Nabi Shallallahu “Alaihi Wasallam datang pada setiap acara-acara kalian, sehingga kalian menyambutnya dengan berdiri dan mengucapkan: Marhaban Ya Nurul ‘Aini, Marhaban Ya Jaddal Husaini (Selamat datang wahai Nurul’Aini, selamat datang wahai kakeknya 2 husain)

Kalian tidak berfikir bagaimana bisa ruh Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam datang ke semua acara maulid-maulid kalian di tempat yang berbeda-beda dan dalam waktu yang bersamaan. Tidakkah ini menunjukkan bahwa kalian menganggap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti apa yang difirmankan Allah tentang diri-Nya (yang artinya), “Dan Dia bersama kalian dimana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan” (Al Hadid:4)

Namun bukankah Allah menyatakan, “Aku bersama hambaku yang mengingatKu”. Maka ketika kita mengingat Nabi dan menyanjungnya, maka nabipun hadir bersama kita??

Ucapan kalian ini menambah bukti kalau kalian benar-benar telah mendudukkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti Tuhan. Bagaimana mungkin kalian meng qiyas kan sesuatu yang sama sekali berbeda? Bukankah qiyas itu harus mempunyai syarat-syarat?

Kami tanyakan kepada kalian apa Wajhus Syabah (sisi persamaan) antara Allah dan Rasul-Nya? Padahal Allah dengan tegas menyatakan (yang artinya):

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Asy Syuraa;11)

Maka sejelk-jeleknya qiyas adalah mengqiyaskan makhluq dengan khaliq (sang pencipta) nya, mengqiyaskan hamba dengan sesembahannya, sungguh ini qiyas yang bathil. Wallahu ‘alam.

Sumber: Bulletin Dakwah Islam Manhaj Salaf edisi 100 Tahun III
“Mereka Bertanya Tentang Maulud Nabi bagian 2″

Dicopy dari: http://ghuroba.blogsome.com/2007/04/08/tentang-maulid-nabi-2/

Menyoal Maulid-4

Mereka Bertanya tentang Maulid Nabi (1)

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Pada bulan Rabiul Awal ini, ada satu acara ritual tahunan yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kali ini kami coba sampaikan beberapa tanya jawab seputar acara ritual yang seakan-akan menjadi kewajiban untuk dilaksanakan setiap tahunnya ini. Mereka bertanya tentang masalah-masalah tersebut sebagai berikut:

Apa hukum peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?

Peringatan Maulid adalah perkara bid’ah. Acara ini tidak pernah dikerjakan oleh shahabat radhiyallahu ‘anhum dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah mengajarkannya. Sedangkan dalam masalah syariat agama ini, kita tidak bisa membuat cara ibadah sendiri, atau menguranginya dan menambahnya dengan cara-cara ibadah yang baru.

Diriwayatkan oleh Aisyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak pernah ada daripadanya, maka hal itu tertolak.” (Mutafaqun ‘Alaih)

Dalam riwayat yang lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak pernah ada perintah kami padanya, maka hal itu tertolak.” (Hadits Riwayat Bukhary Muslim)

Jadi karena tidak ada tuntunan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka amalan tersebut tertolak.

Bukankah perkara ini adalah bid’ah hasanah?

Jika kalian menganggap perkara tersebut adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), berarti kalian telah menganggap ada amalan ibadah yang baik yang belum diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan tidak diamalkan oleh para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Itu maknanya, kalian menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkhianat, karena beliau tidak menyampaikan satu kebaikan yang kalian kerjakan sekarang ini (Perayaan Maulid Nabi -Pent).

Padahal Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam tidak meninggalkan satu kebaikan pun, kecuali beliau telah mengajarkannya. Beliau bersabda (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian pada surga, kecuali sungguh telah aku perintahkan kalian semua dengannya. Dan tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke neraka, kecuali aku telah melarang kalian dengannya.” (Hadits Riwayat Abu Bakar Al Hadad; Syaikh Al Albany telah menghasankannya dalam Ash Shahihah no 2886).

Abu Dzar Al Ghifary Radhiyallahu ‘Anhu berkata (yang artinya), “Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah meninggalkan kami dan tidak ada satu burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali telah disebutkan kepada kita ilmu tentangnya.” (Hadits Riwayat Ahmad)

Yang demikian karena mengajarkan kebaikan adalah amanah yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan kepada setiap Rasul, sebagaimana diriwayatkan ‘Abdullah Bin ‘Amr Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya tidak ada satu nabi pun sebelumku, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diketahuinya dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang teleh diketehuinya” (Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Imaraat bab Wujubul wafa’i bi bai’atil khulafa, juz 12/436)

Perhatikan hadits di atas dengan baik. Kita akan dapatkan bahwa hadits ini menerangkan tentang tugas seluruh para Rasul yaitu mengajarkan kebaikan yang diketahuinya dan memperingatkan umat dari kejelekan yang diketahuinya.

Kalau kalian menganggap ada kebaikan lain selain yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka ada 2 kemungkinan:

  1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengetahui dan kalian merasa lebih tahu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
  2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tahu tapi tidak menyampaikannya, ini berarti kalian menuduh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengkhianati risalah dan tugas para Rasul yang telah disebutkan dalam hadits di atas.

Kedua kemungkinan di atas adalah mustahil, tidak mungkin bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang ma’shum (terjaga dari kesalahan)

Atau apakah kalian merasa lebih baik dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal merekan adalah manusia terbaik seteleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim)

Kalau acara yang kalian lakukan merupakan kebaikan, niscaya sudah dilakukan oleh generasi-generasi terbaik tersebut. Ingat agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan penambahan maupun pengurangan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artrinya), “Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah kucukupkan kepada kalian nikmatku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Al Maidah: 3).

Ingat, agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan penambahan maupun pengurangan. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari in telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al-Maidah:3)

Maka kebid’ahan yang kalian anggap baik merupakan anggapan bahwa agama ini belum sempurna, hingga perlu penambahan bid’ah-bid’ah baru.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “….maka wajib atas kalian untuk mengikuit sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan geraham kalian. Dan jauhkanlah dari kalian hal-hal yang baru, karena sesungguhnya semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Bagaimana dengan perkara baru seperti microphone, kendaraan bermesin, dan lain-lain yang belum pernah ada pada masa Rasulullah, bukankah itu merupakan bid’ah hasanah?

Kalian jangan pura-pura bodoh! Perkara baru yang sedang kita bicarakan ini (dalam hadits di atas -pent) adalah dalam masalah agama. bukan dalam masalah keduniaan. Bukankah beliau bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami” ? Yang dimaksudkan dengan “urusan kami” maksudnya adalah perkara agama. Adapun dalam masalah dunia beliau bersabda, “Kalian lebih tahu dalam urusan dunia kalian” (Hadits Riwayat Muslim)

Maksud kami kegiatan pada peringatan tersebut hanya dzikir dan pujian sholawat kepada Nabi. Bukankah itu semua kebaikan?

Amal ibadah itu disamping bentuknya harus dikerjakan dengan tata cara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga waktunya harus sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dzikir untuk mengingat Allah telah dituntunkan untuk dikerjakan setiap hari seperti dzikir setelah shalat 5 waktu, dzikir pagi dan sore, dan lain-lain. Sedangkan mengkhususkan dzikir pada acara Maulid Nabi atau pada tanggal bulan tertentu membutuhkan dalil khusus tentangnya. Dan sudah dikatakan para ulama bahwa tidak ada satu hadits pun yang memerintahkan dzikir khusus pada Maulid Nabi.

Apalagi pada pujian-pujian yang kalian baca pada acara tersebut seringkali terjatuh pada ghuluw dan tanathu (melampaui batas), seperti yang terdapat pada Barjanji dan Burdah Al Bushiri yang seringkali kalian baca pada acara-acara tersebut. Sebagai contoh adalah apa yang terdapat dalam Burdah Al Bushiri:

Wahai semulia-mulianya makhluk, Aku tidak mendapati bagiku seorang pelindung selain engkau ketika terjadi bencana yang merata….

Demikianlah kalian mengangkat kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sama dengan Allah Subhanahu Wata’ala dengan mengangkat beliau sebagai tempat bergantung dan tempat berlindung,sehingga ketika bencana menimpa, kalian berlindung kepada beliau. Ini adalah satu kesyirikan yang sangat berbahaya.

Padahal Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Wahai Nabi), “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan (menaqdirkan) sesuatu kemudharatan pun kepada kalian dan tidak pula suatu kemanfaatan”. Katakan (Wahai Nabi),”Sesungguhnya sekali-sekali tidak ada seorang pun yang dapat melindungiku dari adzab Allah dan sekali tidak emndapat tempat berlindung selain daripada-Nya”.” (Al-Jin:21-22)

Sedangkan shalawat yang dibaca dalam acara-acara kalian tersebut, disamping mengkhususkan pada waktu tersenut adalah kebid’ahan, juga shalawat-shalawat yang sering dibaca tersebut adalah shalawat bid’ah yang dibuat oleh orang tertentu. Diantaranya adalah sholawat Nariyah. Tidak ada satu riwayat (hadits -pent) pun yang mengajarkan sholawat seperti itu. Akhirnya kalian terjerumus dalam perkara ghuluw (melampaui batas) kembali.

Coba perhatikan arti dari sholawat Nariyah tersebut:

Ya Allah berilah sholawat dengan sholawat yang sempurna dan berilah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna kepada junjungan kita Muhammad, yang dengannya dilepaskan simpul-simpul, dibukanya kesulitan-kesulitan, dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan, didapatkannya harapan-harapan dan akhir yang baik, dan dimintanya hujan dengan wajahnya yang mulia. Dan kepada keluarganya serta para shahabatnya sejumlah apa yang ada untukmu

Apakah yang menakdirkan dan menentukan keselamatan, menghilangkan kesusahan dan memenuhi harapan-harapan adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Atau kalian bertawasul dengan wajah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Keduanya adalah kesyirikan yang diharamkan.

Tapi kami tidak mengetahui/memahami makna dari syair dan sholawat-sholawat tersebut….

Jika kalian tidak mengetahui arti dari sholawat-sholawat bid’ah tersebut, maka hal itu adalah musibah. Karena kalian adalah orang-orang yang taklid buta, mengikuti sesuatu dalam keadaaan kalian tidak mengetahui isinya.

Jika kalian telah mengetahui bahwa sholawat-sholawat tersebut mengandung kesyirikan dan ghuluw namun kalian tetap mengerjakannya, maka sungguh itu merupakan musibah yang lebih besar lagi, karena kalian menentang terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dengan sengaja.

Semoga Allah Subhanahu Wata’ala melindungi kita dari segala macam kesyirikan dan kebid’ahan yang telah dibuat manusia dan menaqdirkan untuk selalu berada di atas kebaikan. Amin. Wallahu A’lam!

Sumber: Bulletin dakwah Manhaj Salaf edisi 99 tahun 3
“Mereka Bertanya Tentang Maulud Nabi”

Dicopy dari: http://ghuroba.blogsome.com/2007/03/27/tentang-maulid-nabi-1/

Menyoal Maulid-3

KERUSAKAN-KERUSAKAN MAULID
Selasa, 27-Maret-2007, Penulis: Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Di dalam kitab beliau, Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh, Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan kerusakan dan penyimpangan acara peringatan Maulid Nabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Kebanyakan orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid terjatuh pada perbuatan syirik, yakni ketika mereka menyanyikan bait-bait syair (nasyid-nasyid atau qosidah) pujian kepada Rasulullah dalam acara itu (yang sering di sebut sholawatan). Mereka mengatakan:

يا رسول الله غوثا و مدد يا رسول الله عليك المعتمد
يا رسول الله فرج كربنا ما رآك الكرْبُ إلا و شرَد

“Wahai Rasulullah, berilah kami pertolongan dan bantuan.
Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran kami.
Wahai Rasulullah, hilangkanlah derita kami.
Tiadalah derita itu melihatmu, kecuali ia akan melarikan diri. “

Sungguh, seandainya saja Rasulullah sholllahu ‘alaihi wa sallam hidup dan mendengar nyanyian tersebut, tentu beliau akan menghukuminya dengan syirik besar (bahkan beliau pasti akan melarang mereka dari perbuatan tersebut). Mengapa? Karena pemberian pertolongan, tempat sandaran dan pembebasan dari segala derita hanyalah Allah Ta’ala saja.

Allah Ta’ala berfirman:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah pula) yang menghilangkan kesusahan….”(QS. An-Naml: 62).

Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shollahu ‘alaihi wa sallam agar menyampaikan kepada segenap manusia:

قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلا رَشَدًا

“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula suatu kemanfaatan….” (QS. Al-Jin: 21).

Bahkan Nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam sendiripun bersabda (dalam rangka memberi nasehat kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan juga umat beliau lainnya):

إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Bila engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah). “ HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata: “Hadits ini Hasan Shohih”).

Kedua: Mayoritas perayaan maulid yang diadakan itu didalam terdapat sikap Al-Ithro’ (berlebih-lebihan) dan menambah-nambah dalam menyanjung (memuji) Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam. Padahal Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut dalam sabda beliau:

لاَ تــطروْنِيْ كَماَ أطرتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقَوُلْوا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku tak lebih hanya seorang hamba, maka katakanlah (tentang aku) ‘Abdulllah (Hamba Allah) dan Rasul-Nya!’“ (HR. Al-Bukhari).

Kemudian dalam acara Maulid itu juga, sering dibacakan kitab Diba’ yang berisi sejarah perjuangan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam salah satu syair kitab ini menceritakan dan di yakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad sholallahu ‘alahi wa sallam dari cahaya-Nya, lalu Ia menciptakan segala sesuatu dari Nur Muhammad (cahaya Muhammad).

Sungguh ini adalah ucapan dusta. Sebaliknya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam itu justru diciptakan Allah dengan perantara seorang bapak dan ibu. Beliau adalah manusia biasa yang dimuliakan dengan diberi wahyu oleh Allah.
Bahkan mereka juga menyenandungkan syair Diba’ yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini kerena Muhammad. Ini pun juga ucapan dusta, karena Allah Ta’ala justru berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. “(QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Ketiga: Dalam acara perayaan atau peringatan maulid nabi itu banyak terjadi ikhthilat, (bercampur laki-laki dan wanita dalam satu tempat, tanpa adanya hijab/tabir pemisah diantara mereka), padahal ini diharamkan dalam syariat agama kita.

Keempat: Dalam penyelenggaraan acara maulid nabi ini, sering terjadi sikap tabzdir (pemborosan harta), baik untuk biaya dekorasi, konsumsi, transportasi dan sebagainya yang terkadang mencapai jumlah jutaan. Uang sebanyak itu habis dalam sekejap padahal mengumpulkannya sering dengan susuh payah, dan sesungguhnya hal itu lebih dibutuhkan umat Islam untuk keperluan lainnya, seperti membantu fakir miskin, memberi beasiswa belajar bagi anak-anak yatim dan sebagainya.

Kelima: Waktu yang digunakan untuk mempersiapkan dekorasi, konsumsi dan transfortasi sering membuat lengah atau lalai para panitia peringatan maulid, sehingga tidak jarang mereka sampai meninggalkan sholat berjamaah dengan alasan sibuk atau yang lainnya.
Dan tak jarang pula acara peringatan Maulid itu berlangsung hingga larut malam, akibatnya banyak di kalangan mereka tidak sholat subuh berjamaah di masjid (karena bangun kesiangan) atau bahkan ada yang tidak subuh sama sekali.

Keenam: Merayakan maulid (hari kelahiran) adalah sikap tasyabbuh (meniru atau menyerupai) orang-orang kafir. Mengapa? Lihatlah, orang-orang Nasrani punya tradisi memperingati natal (hari kelahiran) Isa Al-Masih, dan juga hari natal atau ulang tahun setiap anggota keluarga mereka. Lalu, umat Islam pun ikut-ikutan merayakan bid’ah tersebut. Padahal, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam mengingatkan kita:

مَنْ تَـشَـبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. “(HR. Abu Dawud, shahih).

Ketujuh: Sudah menjadi tradisi dalam peringatan maulid itu, bahwa di akhir bacaan maulid, sebagian hadirin berdiri, karena mereka menyakini bahwa pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hadir didalam majelis mereka. Sungguh ini adalah kedustaan yang nyata. Mengapa? Ya karena Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Dan di hadapan mereka (orang-orang yang telah mati) ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan. “(QS. Al-Mu’minin: 100).

Yang dimaksud barzakh (dinding) pada saat tersebut adalah pembatasan antara dunia dan akhirat, sehingga tidak mungkin orang yang telah mati bangkit atau ruhnya yang bangkit.

Di samping itu, seandainya Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam masih hidup, tentu beliau tidak senang di sambut dengan cara berdiri menghormat beliau, sebagaimana dinyatakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam. Tetapi jika mereka melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak berdiri untuk (menghormati) beliau, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah membenci hal tersebut. “(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, shohih)

Maroji’:
Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

Sumber:
BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi: 15 / Robi’ul Awal / 1425

Dikutip dari:
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=629

Menyoal Maulid-2

Fatwa Ulama Besar Seputar Maulid Nabi
Dikirim oleh webmaster, Ahad 22 Februari 2009, kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II
.: :.
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

"Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]

Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam-? Cinta kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mengikuti syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syariat beliau, dengan anggapan hal tersebut bisa mendekatkan diri kepada Allah atau suatu bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- , atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk !!

Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .

* Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (mantan mufti di sebuah negeri Timur Tengah), ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .

Syaikh bin Baaz-rahimahullah- menjawab, "Tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, karena hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya Rasul -Shallallahu ‘alaihi wasallam- , para Khalifah Ar-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah, paling sempurna cintanya kepada Nabi dan ittiba’-nya (keteladanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.

Telah shahih (sebuah hadits) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Beliau juga bersabda, "Wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah ia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat." [Abu Dawud (4617), At-Tirmidziy (2676), dan Ibnu Majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami’ (2546)]

Jadi, dalam dua hadits yang mulia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya ." (QS. Al-Hasyr :7).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS.An-Nur :63).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.Al-Ahzab :21).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS.Al-Maidah :3).

Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahwa Allah -Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk umat ini, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada umatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakangan ini membuat-buat perkara baru dalam syariat Allah apa yang tidak diridhoi Allah, dengan sangkaan hal tersebut bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahaya yang sangat besar, termasuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang bisa mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah sampaikan kepada umatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ, وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan atas umatnya apa yang ia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka." [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1844)]

Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah Nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- akan jelaskan kepada umatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan, maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari Islam sedikit pun juga, bahkan dia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahayanya oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut di atas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at:

أََمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat." [HR.Muslim Shohih-nya (867)]

Demikian fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah-, Anda bisa lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikhbin Baz (1/183), dan Al-Bida’ wal Muhdatsat (hal 619-621).

* Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga ditanya, "Apa hukum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-?

Syaikh bin Baaz menjawab, "Amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia, menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka dengan sesuatu yang bisa melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap waktu, karena adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.

Allah -Ta’ala-berfirman,

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS.Al-Maidah : 104).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl :125).

Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para da’i (penyeru) diantara mereka,

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An-Nisa’: 61-63); dan ayat-ayat lain.

Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwah dan memberikan nasihat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasihat dan bimbingan ini semakin dianjurkan ketika ada tuntutan kepadanya, seperti khutbah Jum’at dan hari Ied, karena warid (datang)-nya hal tersebut dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .Demikian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

"Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." [HR.Muslim (49)]

Adapun pada hari maulid, maka di dalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat, bimbingan, pembacaan kisah maulid, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pantas untuk (melakukan) hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahwa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Demikian pula halnya para sahabat, mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5591), dan Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa ma laa Ashla lahu (628-630)]

Jadi, maulid bukanlah sarana syar’i dalam beribadah dan mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi ia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan . Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.

Ulama’ bermadzhab Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Diantaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Dikutip dari situs http://almakassari.com/?p=321, judul asli Fatwa Ulama Besar Seputar Maulid)

Menyoal Maulid-1


PERINGATAN MAULID NABI DALAM TIMBANGAN ISLAM

Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan) kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan diri kepada Allah . Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?

Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali t, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126)

Hukum Memperingati Maulid Nabi
Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan di sisi Allah . Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah ketika hendak menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah.” (Zaadul Ma’ad: 1/74)
Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut lantas disyari’atkan untuk memperingatinya? Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat Nabi . Allah berfirman (artinya): “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (An Nisaa’: 59)
Subhanallah!, ketika kita kembali kepada Al Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula di dalam As Sunnah Rasulullah tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada sesuatu pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad . Nabi bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلىَ خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang diketahuinya.” (HR. Muslim)
Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi , apakah mereka memperingati hari kelahiran seorang yang paling mereka cintai ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Merayakan hari kelahiran Nabi tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat), meski ada peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf t orang yang lebih berhak merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita miliki, demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar daripada kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka merayakan maulid Nabi ? Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.
Dan bila kita renungkan lebih dalam, ternyata peringatan Maulid Nabi ini merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka biasa merayakan hari kelahiran Nabi Isa u. Rasulullah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (H.R Ahmad)
Para pembaca yang budiman, mungkinkah suatu amalan yang tidak ada perintahnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pernah pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil rekayasa para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan juga mengandung unsur penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani, tergolong sebagai amal ibadah dalam agama ini? Tentu seorang yang kritis dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan tergolong sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.
Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Lebih dari itu, Allah berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan mereka ke dalam Jahannam.” (An Nisaa’: 115)
Bagaimanakah, bila pada sebagian acara yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya :
“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari hempasan musibah nan menggurita selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.
Karena sungguh diantara bukti kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu tentang segala kejadian).”
Padahal, Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau (artinya): “Janganlah kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Al Bukhari). Demikian pula Allah telah berfirman (artinya): “Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak (pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.” (Al An’am: 50)

Serba - Serbi
Para pembaca, ketahuilah bahwa semata-mata niat baik bukanlah timbangan segala-galanya. Lihatlah bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud t terhadap sekelompok muslimin yang duduk di masjid dalam keadaan membaca takbir, tahlil, tasbih, dan berdzikir dengan cara yang belum pernah dikerjakan Rasulullah , beliau berkata: “…celakalah kalian hai umat Nabi Muhammad ! Alangkah cepatnya kehancuran menimpa kalian! Padahal para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian beliau pun belum usang, dan bejana-bejana beliau pun belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian merasa di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad atau kalian justru sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdirrahman (yakni ‘kunyah’ dari Abdullah bin Mas’ud), tidaklah yang kami inginkan (niatkan) kecuali kebaikan semata? Beliau menjawab: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi 1/68-69).
Al Imam Asy Syafi’i berkata:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baiknya suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.” (Al Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)
Demikian pula semata-mata mencintai Nabi tanpa meniti jalannya dan jalan orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yakni para sahabat, adalah kecintaan yang palsu. Dengan tegas Allah berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (Ali Imran: 31)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap Rasul terletak pada (kuatnya) ittiba’ (mengikuti jejaknya), ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir maupun batin, dan menyebarkannya serta berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan dan lisan.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)

Para pembaca, mungkin dalam hati kecil ada yang bergumam: “Tidakkah peringatan maulid Nabi ini termasuk bid’ah hasanah?”
Kita katakan bahwa Rasulullah bersabda: وَإِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sungguh semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Beranikah seorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah menyelisihi sabda beliau? Rasulullah nyatakan setiap bid’ah itu adalah sesat, lalu ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah (baik)?!! Sungguh ironis seorang yang katanya cinta kepada Rasul sehingga sangat berkepentingan untuk memperingati hari kelahirannya, namun dalam mewujudkannya harus menentang Rasulullah. Apakah itu hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Tentu jawabannya ‘Tidak’, karena hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan ketaatan yang sempurna kepada keduanya, sebagaimana yang dikandung oleh firman Allah dalam Q.S Ali Imran:31.
Cukuplah sebagai bukti kesesatannya dan bukan hasanah, ketika Rasulullah , para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka (termasuk imam yang empat), tidak melakukannya dan tidak pernah membimbing umat untuk mengerjakannya. Kalaulah ia hasanah, pasti mereka telah merayakannya dan menyumbangkan segala apa yang mereka punya untuk acara tersebut, namun ternyata mereka tidak melakukannya. Sahabat Abdullah bin Umar berkata: “Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya hasanah (baik). (Al Ushul I’tiqad Al Lika’i: 1/109)
Al Imam Malik berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa nabi Muhammad telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”. Atas dasar ini, segala perkara yang pada waktu itu (yakni di masa nabi/para sahabat) bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pula perkara itu bukan termasuk agama.” (Al I’tisham: 1/49)
Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya. Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar!, karena sungguh ironis seorang yang mengaku cinta kepada Nabi r, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk kedalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau , yang ini pun sesungguhnya sudah masuk kedalam lingkup tasyabbuh dengan orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah sendiri. Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi , namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?!
Para pembaca, demikianlah apa yang bisa kami sajikan, semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amiin, yaa Mujiibas Saailiin.


Dikutip dari:

http://www.assalafy.org/mahad/?p=103#more-103

===================================================================

PERINGATAN MAULID NABI DALAM SOROTAN

Penulis : Al Ustadz Jafar Salih

Kategori : Akidah

Hari itu istri-istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kedatangan tiga shahabat menanyakan perihal ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sesampainya mereka disana diceritakanlah kepada mereka seperti apa ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, selesai mereka menyimak keterangan para pendamping Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam seolah-olah mereka masih menganggapnya belum seberapa. Maka berkatalah salah seorang dari mereka; "Saya akan shalat malam selama-lamanya". Kata yang kedua; "Kalau saya, saya akan berpuasa dan tidak berbuka". Yang terakhir menyela; "Dan saya, saya akan menjauhi wanita-wanita dan tidak akan menikah".

Tidak lama, sampailah kepada beliau laporan ucapan-ucapan ketiga shahabatnya tadi. Maka beliau pun berkata lantang dihadapan mereka; "Kenapa masih ada orang-orang yang mengatakan ini dan itu, sungguh demi Allah, ketahuilah; saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah dari pada kalian, tapi saya shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa dan saya juga berbuka dan saya menikahi wanita-wanita…barangsiapa yang tidak suka dengan ajaranku maka dia bukan dari golonganku".

Demikianlah makna hadist Anas Ra yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dalam Shahihnya. Hadits ini seolah-olah terus menegur dan mengingatkan kita, bahwa ada satu hal dari sunnah nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang sering kali luput dari pengamatan yaitu yang dinamakan para ulama dengan sunnah tarkiyyah. Sunnah Tarkiyyah adalah semua yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulllah Shallallahu 'Alaihi Wasallam semasa hidupnya maka sunnah bagi kita untuk meninggalkannya.

Karena sunnah ada dua; sunnah fi'liyyah dan sunnah tarkiyyah. Yang pertama; setiap yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk melakukannya. Dan yang kedua; setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk tidak melakukannya.

Diantara contoh sunnah tarkiyah adalah hadist Anas Ra diatas. Karena itu Al Hafidz Ibnu Rajab berkata; "…adapun hal-hal yang telah disepakati oleh salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh mengamalkannya, karena mereka meninggalkannya atas dasar ilmu bahwa hal tersebut tidak disyariatkan".

Dihari-hari ini, dibulan Rabi'ul Awal, umumnya kaum muslimin merayakan perayaan ritual tahunan yang biasa dikenal dengan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau Mauludan. Tidak sedikit harta yang dinafkahkan pada perayaan ini, sampai-sampai dibeberapa tempat dana yang dihabiskan untuk mensukseskannya terkadang mencapai puluhan juta. Tapi harus kita akui bersama, hanya sedikit –dari sekian besar dana yang dibelanjakan untuk acara ini- yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin apabila ditinjau dari perbaikan akhlak dan sikap beragama mereka, kalau tidak boleh mengatakan; "Tidak ada manfaatnya". Bukti akan hal ini terlalu banyak untuk disebutkan. Dan setiap kita cukup sebagai saksi dari gagalnya seremonial tahunan ini dalam mengangkat moral ummat dan mengembalikan kesadaran beragama mereka.

Apa yang salah dari perayaan maulid Nabi, bukankah acara tersebut merupakan ungkapan kegembiraan kita dengan Nabi kita sendiri?! Dengannya kita bisa melakukan napak tilas sejarah kehidupan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam?! Mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam?! Semua ini adalah niatan baik yang melatar belakangi perayaan tersebut, tapi seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud Ra kepada orang-orang yang didapatinya di masjid Kufah, ketika itu mereka terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok majlis dzikir, majlis memuji dan mengingat Allah Ta'ala, kata Ibnu Mas'ud Ra, "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya". Hal ini karena mereka melakukan suatu yang tidak pernah dikerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam semasa hidupnya, ini juga yang hampir dilakukan oleh tiga orang shahabat nabi dalam kisah diatas.

Ungkapan kegembiraan, napak tilas kehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mempelajari sunnah-sunnah beliau caranya dengan menerapkan ajarannya dalam kehidupan kita, dengan belajar ilmu agama diantaranya sirah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan dengan cara-cara yang baru yang hanya dikenal setelah berlalunya tiga generasi yang mulia, shahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in.

Perayaan ini tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, generasi pertama ummat ini dan tidak dikenal dalam mazhab yang empat, Hanafiah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah. Lantas siapa orang yang menanggung dosa pertama dari bid'ah maulid ini? Orang yang pertama kali mengadakan perayaan ini adalah kelompok Fatimiyyun disebut juga Ubaidiyyun ajaran mereka adalah kebatinan. Adapun perkataan bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut adalah seorang raja yang adil yang alim yaitu Raja Mudhofir, penguasa Ibril adalah pernyataan yang salah. Abu Syamah menjelaskan bahwa Raja Al Mudhofir (hanya) mengikuti jejak Asy-Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulaa tokoh kebatinan dan dialah orang yang pertama kali mengadakan perayaan tersebut.

Kelompok yang membolehkan maulid beralasan;

1- Perayaan Maulid merupakan ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan dengan diutusnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan hal ini termasuk perkara yang diharuskan karena Al-Qur’an memerintahkannya sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala :

{قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ}

"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira" (Qs. Yunus; 58).

Ayat ini memerintahkan kita untuk bergembira disebabkan rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat Allah yang paling agung, Allah Ta’ala berfirman;

{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ }

"Dan tidaklah kami utus kamu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam" (Qs. Al Anbiya'; 107)

Sanggahannya; Bergembira dengan beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kelahirannya, syariat-syariatnya pada umumnya adalah wajib. Dan penerapannya disetiap situasi, waktu dan tempat, bukan pada malam-malam tertentu.

Kedua; pengambilan dalil surat Yunus; 58 untuk melegalkan acara maulid nyata sangat dipaksakan. Karena para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Al Baghawi, Al Qurthubi dan Ibnul Arabi serta yang lainnya tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata rahmat pada ayat tersebut adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun yang dimaksud dengan rahmat adalah Al Qur’an. Seperti yang diterangkan dalam ayat sebelumnya;

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ }

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". (Qs. Yunus; 57).

Ibnu Katsir menerangkan; "Firman Allah Ta’ala "rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman" maksudnya dengan Al-Qur’an, petunjuk dan rahmat bisa didapatkan dari Allah Ta’ala. Ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang beriman dengan Al-Qur'an dan membenarkannya serta meyakini kandungannya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala;

{وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا}

"Dan kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (Qs. Al Israa'; 82).

2- Syubhat kedua; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri mengagungkan hari kelahirannya, beliau mengekspresikan hal itu dengan berpuasa, seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab; "Pada hari itu aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku".

Sanggahannya; Hadist Abu Qatadah Ra diatas adalah hadist yang shahih, tapi menjadikannya sebagai dalil bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam merayakan sendiri kelahirannya, ini yang salah. Kesimpulannya dalilnya shahih, pendalilannya salah. Dikarenakan beberapa alasan;

1- Diriwayatkan dalam hadist yang lain, bahwa puasa beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam dihari senin, karena amalan dihari itu diperlihatkan kepada Allah Ta'ala.

2- Kalau ucapan mereka benar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa dalam rangka merayakan kelahirannya, kenapa tidak ada seorang pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang memahami sabda diatas dengan pemahaman demikian. Kemudian datang orang-orang belakangan yang memahami puasa beliau di hari senin sebagai ekspresi pengagungan terhadap hari kelahirannya, lalu dari situ mereka mengadakan acara yang dinamakan maulid!! Apakah mereka lebih mengetahui kebenaran dari para shahabat yang mulia dan hanya diketahui oleh orang yang datang belakangan?! Sungguh ajaib logika orang-orang pintar akhir zaman hasbunallahu wani'mal wakiil.

3- Syubhat ketiga; perkataan mereka; "Perayaan Maulid memang bid'ah, tapi bid'ah hasanah (baik)"

Sanggahannya; cukup dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Setiap bid'ah adalah sesat". Dan seperti itu pulalah yang disampaikan Ibnu Umar Ra kepada orang-orang yang memiliki anggapan salah ini, kata beliau; "Setiap bid'ah adalah sesat walaupun orang menganggapnya baik".

Al Imam Malik rahimahullah berkata; "Barangsiapa yang membuat bid'ah di dalam Islam yang dianggapnya baik, ia telah menuduh Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam khianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah Ta'ala berfirman;

{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ}

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Qs. Al Maidah; 3) maka segala sesuatu yang bukan agama dihari itu, bukan pula agama dihari ini.

Apabila ajaran maulid adalah petunjuk dan kebenaran, kenapa Rasululah SAW dan para shahabatnya, tidak pernah menganjurkannya?! Apakah mereka tidak tahu?! Kemungkinan yang lain, mereka tahu tapi menyembunyikan kebenaran. Dua kemungkinan ini sama batilnya!! Alangkah dzalim apa yang mereka perbuat kepada nabinya dengan alasan cinta kepadanya?!

Dikutip dari :
http://mimbarislami.or.id/?module=artikel&action=detail&arid=160