Ya Allah, berilah petunjuk dan rahmat untuk para pemimpin kami, selamatkanlah kami dari fitan, ampunanilah kami & mereka

Selasa, 16 Februari 2010

Ada apa dengan Syi'ah? (bag-3)

Bantahan Singkat Terhadap Keyakinan Syi’ah Tentang Mahdi Versi Mereka
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Syariah, Kajian Utama, 24 - Agustus - 2007, 22:02:41


Para ulama telah membongkar kebohongan Mahdi versi Syi’ah dan membantah tuntas syubhat-syubhat mereka.

Di antara para ulama yang telah melakukannya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, dan ulama-ulama masa kini. Untuk itu kami ringkaskan pembahasan berikut ini dari kitab Badzlul Majhud Fi Itsbati Musyabahatir Rafidhah Lil Yahud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili.
1. Al-Hasan Al-‘Askari sebagai bapak Al-Mahdi versi Syi’ah sebenarnya tidak mempunyai anak. Ia meninggal tanpa keturunan. Dan sungguh ini adalah hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang besar untuk membongkar kedok kedustaan mereka. Dan ini diakui oleh buku-buku Syi’ah sendiri seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini, Al-Irsyad karya Al-Mufid, dan lain-lain.
2. Anggaplah kelahiran itu ada, tapi persembunyiannya yang lama ini membuat keberadaannya tiada arti. Ath-Thusi, ulama mereka, menyebutkan sebab tidak keluarnya adalah takut dibunuh. Ini adalah sebab yang dibuat-buat, karena dalam keyakinan mereka, ia akan muncul dan mendapat pertolongan dari Allah (Biharul Anwar, 52/191).
Lalu mengapa takut? Ataukah dia tidak beriman dengan berita-berita riwayat mereka itu? Demikian pula, bila dia takut dibunuh alias pengecut, maka ini –menurut mereka juga– tidak sesuai dengan syarat keimaman. Sebab, menurut mereka, syarat sebagai seorang imam adalah harus yang paling pemberani. (Al-Anwar An-Nu’maniyyah, 1/34)
3. Artinya pula, ia akan keluar nanti bila sudah aman. Lalu untuk apa keluar jika sudah aman, tidak ada perlunya?!
4. Sekarang negara Syi’ah sudah ada, yaitu Iran. Bukankah negara itu siap melindungi Mahdi mereka? Mengapa tidak keluar?
5. Kalau ia tidak bisa melindungi dirinya dari pembunuhan, bagaimana mau melindungi orang lain? Alasan yang dibuat-buat itu, justru menunjukkan bahwa Mahdi mereka memang tidak ada.
6. Mahdi mereka itu tidak ada maslahatnya dari sisi din dan dunia. Lebih-lebih di antara prinsip Syi’ah adalah bahwa hukum-hukum syariat tidak bisa dilaksanakan sampai munculnya Mahdi. Sementara Mahdi mereka hanya fiktif. Artinya, mereka hidup tanpa syariat.
Apakah ini bisa diterima oleh akal seorang muslim, siapapun dia? Oleh karenanya, mau tidak mau Khomeini (tokoh Syiah) harus mengakui realita ini, sehingga dia katakan: “Sesungguhnya, kita berada pada masa persembunyian besar (Mahdi) dan telah lewat masanya lebih dari 1.200 tahun… Sekarang sesungguhnya hukum-hukum Islam dan undang-undang syariat, apakah akan dibiarkan dan ditinggalkan sampai masanya muncul, supaya selama selang waktu persembunyian yang panjang masanya ini orang-orang menjadi tanpa beban, mereka berada dalam kebebasan semau mereka? Maknanya bahwa syariat Islam hanya untuk waktu yang terbatas. Dalam kurun waktu 1 atau 2 abad saja. Dan ini adalah termasuk penghapusan syariat Islam yang paling jelek yang kami tidak sependapat dengannya. Demikian pula tidak seorang muslim pun sependapat….” (Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hal. 41-42, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)
Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili mengatakan: “Apa yang disebutkan oleh Khomeini bahwa keyakinan Al-Ghaibah (persembunyian Al-Mahdi) pada akhirnya mengarah kepada penghapusan syariat mereka. Ini adalah pendapat yang benar yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tampakkan melalui lisannya, untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala tegakkan hujjah atas mereka (orang-orang Syi’ah).” (Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)
Dari sini, mungkinkah Sunnah dan Syi’ah bergandeng tangan? Orang yang berakal tentu menjawab tidak mungkin. Hal itu bagaikan mencampur antara minyak dan air.
Atas dasar itu, maka segala ajakan menuju pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah adalah merupakan kesesatan dan upaya untuk mengubur al-wala` dan al-bara` serta menghapus identitas As-Sunnah dari Ahlus Sunnah.
Tidakkah kalian sadar –wahai pengikut aliran Syi’ah– akan kebatilan aqidah kalian ini? Dan ini baru satu masalah. Demikian pula aqidah-aqidah kalian yang lain. Tak jauh kebatilannya dari itu, bahkan banyak yang lebih batil darinya. Sadarlah dan kembalilah kepada Islam yang dibawa oleh Rasul Rabb semesta alam, Muhammad bin Abdillah Al-Qurasyi, Al-Hasyimi…
Wallahu a’lam.

Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=511

Ada apa dengan Syi'ah? (bag-2)

Di Balik Makar Khawarij dan Syi’ah,
Merunut Aksi-aksi Jahat Yahudi

Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

“Nenek moyang” Mossad (badan intelijen Yahudi) sesungguhnya sudah ada sejak zaman sahabat. Melalui provokasi agen Yahudi bernama Abdullah bin Saba`, lahirlah demonstrasi pertama dalam Islam berikut aksi teror yang berujung dengan wafatnya Khalifah ‘Utsman radhiyallahu 'anhu. Maka siapa pun yang menumbuhsuburkan demonstrasi menentang pemerintah Islam dan aksi-aksi terorisme, selain menebar fitnah atas kaum muslimin, ia juga tengah mempraktikkan cara-cara Yahudi dalam mengoyak persatuan umat.

Dalam lintasan sejarah, nama Abdullah bin Saba` sudah tak begitu asing didengar telinga kaum muslimin. Kiprahnya dalam tubuh umat ini telah menjadi bagian kelam sejarah umat Islam. Aksi-aksinya yang sedemikian jijik dan kotor telah menjerembabkan sebagian umat ke jurang kenistaan.
Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi penduduk Shana’a, Yaman. Ibunya bernama Sauda` sehingga sering dia disebut dengan Ibnu Sauda`. Secara lahiriah, di hadapan kaum muslimin, dia menampilkan diri sebagai seorang yang bersosok keislaman. Namun senyatanya, apa yang meluncur dari lisan dan perbuatannya tak lebih dari seonggok kebid'ahan. (Lihat Taudhihu An-Naba` ‘an Mu`assis Asy-Syi’ah Abdillah bin Saba` baina Aqlam Ahli As-Sunnah wa Asy-Syi'ah wa Ghairihim, Abil Hasan Ali bin Ahmad bin Hasan Ar-Razihi, hal. 37)
Terjadinya gerakan demonstrasi besar-besaran dalam sejarah Islam, tiada lain didalangi Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang menyimpan bara dendam terhadap kaum muslimin. Apa yang telah dilakukannya lantas menyuburkan pemahaman Khawarij pada sebagian kaum muslimin di masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Melalui aksi provokasinya, sebagian umat terpancing untuk melakukan aksi demonstrasi menentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang berakhir dengan terbunuhnya beliau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab dalam Mukhtashar Sirah Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 218) menyebutkan, pada tahun ke-35 H, sebagian penduduk Mesir dan yang sepaham dengan mereka, melakukan gerakan menentang terhadap pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Adapun sumber fitnah dari semua itu adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi dari Shana’a. Secara zhahir dia menampakkan keislaman, namun dalam dirinya tersembunyi api dendam dan kekufuran. Hidupnya senantiasa berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya dalam upaya menyebarkan dan menyusupkan pemahaman-pemahaman sesatnya, sehingga menyesatkan sebagian kaum muslimin. Dia selalu berpindah dari Hijaz, Bashrah, Kufah, dan Syam.
Ketika dia tak berhasil dengan apa yang menjadi tergetnya di negeri-negeri tersebut, lantas Abdullah bin Saba` hengkang menuju Mesir. Di negeri inilah dia bisa menyemai pemahaman-pemahaman sesatnya dan berhasil mengelabui sebagian umat sehingga terprovokasi. Ibnu Sauda` lantas melakukan gerakan propaganda anti ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Masyarakat dihasut agar menentang pemerintah. Fitnah dan api kebencian terhadap pemerintah disebar. Mendorong umat untuk menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga terjadilah musibah besar dengan pengepungan terhadap ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Akhir dari peristiwa pengepungan tersebut, adalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu kala membaca Al-Qur`an. Semua ini dilakukan oleh kalangan Khawarij yang dipicu pemikiran dan aksi jahat sang Yahudi, Abdullah bin Saba`.
Inilah aksi terorisme terjahat yang dilakukan kelompok Khawarij pada kurun keemasan Islam. Aksi terorisme yang mereka lakukan didalangi seorang agen Yahudi berwajah Islam. Kelihaian agen Yahudi satu ini dalam melakukan infiltrasi ke dalam tubuh umat, menjadikan sebagian kaum muslimin terseret pada tindakan-tindakan terorisme menjijikkan.
Berawal dari sinilah pintu-pintu fitnah terbuka luas. Kaum muslimin diselimuti kabut kelam. Api fitnah tak kunjung memadam, terlebih manuver Abdullah bin Saba` senantiasa meruyak di tubuh umat. Yahudi asal Shana’a ini terus meniupkan racunnya ke dalam tubuh kaum muslimin. Satu di antara sekian banyak racun yang telah ditebar di tubuh umat, yaitu membangkitkan fanatisme buta terhadap keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Lalu bergulir menjadi sebuah aqidah (keyakinan) di kalangan Saba`iyah (para pengikut Abdullah bin Saba`), bahwa keimamahan yang pertama dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan berakhir pada Muhammad bin Al-Husain Al-Mahdi. Inilah keyakinan di kalangan Syi’ah yang merupakan keyakinan sesat. Kalangan Syiah meyakini hal itu sebagai bentuk aqidatu ar-raj’ah. (‘Aqa`idu Asy-Syi’ah, Asy-Syaikh Mahmud Abdulhamid Al-’Asqalani, hal 21)
Keyakinan terhadap keimamahan ini lahir dari bentuk dendam kesumat Abdullah bin Saba` terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dendam ini hingga kini terus ditumbuhsuburkan oleh para pengikutnya dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Karenanya, adalah sebuah kedustaan bila orang-orang Syi’ah dewasa ini bisa mengambil sikap permusuhan yang keras terhadap Yahudi. Bagaimana pun Syi’ah dan pemahamannya tidak akan bisa dilepaskan dari Yahudi. Becerminlah dari sejarah, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=487

Ada apa dengan Syi'ah?(bag-1)

Membongkar Kesesatan Syiah

Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.

Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)

Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)

Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)

Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.

Rafidhah, diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar radiyallahu ‘anhum, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi radiyallahu ‘anhu. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: “Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah. Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.

Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)

Sesatkah Syi’ah Rafidhah?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur’an
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata: “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam (ada) 17.000 ayat.”

Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).

Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)

Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)

Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)

Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)”
(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)

Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)

Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)

Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)

Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)

Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.

d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)

Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)

e. Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah Ta’ala. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.

Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata:
“Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)

Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.

1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)

2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)

3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.

4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)

5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)

6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)

Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.


(Dikutip dari majalah Asy Syariah, tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc, judul asli Membongkar Kesesatan Syiah, Syariah, Manhaji, 12 - Februari - 2004, 01:05:04. Url asli http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=142)

Sikap Ahlussunnah terhadap Shahabat Nabi-3

Membongkar kesesatan Syi'ah : Menghina Shahabat Nabi
Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 29/II/II/142
Firqoh-Firqoh, 30 Maret 2005, 07:04:57

Berbagai mahkota keutamaan dan kemuliaan yang hakiki telah berhasil diraih oleh generasi terbaik umat ini, seiring kebaikan mereka yang tak akan pernah tertandingi oleh generasi sesudahnya sepanjang jaman. Merekalah para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pribadi-pribadi manusia yang telah Allah pilih untuk mendampingi utusan-Nya yang termulia Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, di dalam mengemban risalah dakwah-Nya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya." (Al-Fath: 29)

Maka tak ayal lagi, kalau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merekomendasikan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Beliau bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para shahabat) kemudian generasi sesudahnya (para tabi'in) kemudian generasi sesudahnya (para pengikut tabi'in)." (Muttafaqun 'alaih)
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Dan masing-masing mereka (para shahabat) adalah orang yang adil, imam yang memiliki keutamaan dan keridhaan. Diwajibkan atas kita untuk memuliakan, menghormati, memintakan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka. Satu buah kurma yang mereka sedekahkan lebih utama dari sedekah seluruh apa yang kita miliki. Duduknya mereka bersama Nabi lebih utama daripada ibadah kita sepanjang masa. Kalau seandainya seluruh umur kita gunakan untuk beribadah terus-menerus maka tidak akan mampu menandingi amalan sesaat atau lebih dari mereka." (Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/663)

Para Shahabat dalam Tinjauan Syi'ah Rafidhah
Ternyata mahkota keutamaan dan kemuliaan ini telah dicabik-cabik para tentara Iblis yang telah memendam kebencian dan kedengkian terhadap mereka. Syi'ah Rafidhah-lah, tentara pertama kali dan paling gigih mengobarkan api kebencian dan kedengkian tersebut.
Wujud kebencian kaum Syi'ah Rafidhah telah tertuang di dalam lembaran-lembaran tulisan ulama mereka seiring dengan bergantinya generasi dan kurun waktu. Dalam kitab Syarh Nahjil Balaghah 20/22, Ibnu Abil Hadid mengatakan: "Para shahabat adalah satu kaum yang mendapat kebaikan dan kejelekan sebagaimana manusia lainnya. Barangsiapa di antara mereka yang berbuat kejelekan maka kami cela, sedangkan yang berbuat kebaikan kami puji. Mereka tidak memiliki keutamaan yang besar dibandingkan kaum muslimin yang lainnya kecuali hanya sekedar pernah melihat Rasulullah. Tidak lebih daripada itu. Bahkan bisa jadi, dosa mereka lebih besar daripada dosa selain mereka."
Al-Kulaini di dalam kitab Ar-Raudhah minal Kafi 8/245-246 meriwayatkan dari Abu Ja'far bahwa dia berkata: "Para shahabat adalah orang-orang yang telah murtad (sepeninggal Nabi-pent), kecuali tiga orang saja." Maka aku (periwayat) bertanya: "Siapa tiga orang itu?" Maka dia menjawab: "Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi."
Muhammad Baqir Al-Majlisi di dalam kitab Haqqul Yaqin hal. 519 berkata: "Aqidah kami dalam hal kebencian adalah membenci empat berhala yaitu Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, Mu'awiyah dan empat wanita yaitu 'Aisyah, Hafshah, Hindun, Ummul Hakam serta seluruh orang yang mengikuti mereka. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk Allah di muka bumi ini. Tidaklah sempurna iman kepada Allah, Rasul-Nya dan para imam (menurut keyakinan mereka) kecuali setelah membenci musuh-musuh tadi."
Al-Mulla Kazhim di dalam kitab Ajma'ul Fadha'ih hal. 157 meriwayatkan dari Abu Hamzah Ats-Tsumali -berdusta atas nama Ali Zainal Abidin rahimahullah- bahwa beliau berkata: "Barangsiapa yang melaknat Al-Jibt (yaitu Abu Bakar) dan Ath-Thaghut (yaitu 'Umar) dengan sekali laknatan maka Allah catat baginya 70 juta kebaikan dan Dia hapus sejuta kejelekan. Allah angkat dia setinggi 70 juta derajat. Barangsiapa sore harinya melaknat keduanya dengan sekali laknatan maka baginya (pahala) seperti itu."
Bahkan di dalam kitab wirid mereka Miftahul Jinan hal. 114 disebutkan wirid Shanamai Quraisy (dua berhala Quraisy yaitu Abu Bakar dan 'Umar), di antara lafazhnya berbunyi:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
"Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Laknatilah dua berhala Quraisy, dua syaithan, dua thaghut dan kedua anak perempuan mereka ('Aisyah dan Hafshah)."
Para ulama Syi'ah Rafidhah telah menukilkan ijma' mereka tentang kafirnya para shahabat, di antaranya Al-Mufid bin Muhammad An-Nu'man di dalam kitab Awa'ilul Maqalat hal. 45, dia berkata: "Imamiyyah (Syi'ah Rafidhah), Zaidiyyah dan Khawarij bersepakat bahwa orang-orang yang melanggar perjanjian dan menyeleweng, dari penduduk Bashrah dan Syam (para shahabat -menurut anggapan mereka- pent) adalah orang-orang kafir, sesat dan terlaknat karena memerangi Amirul Mukminin (Ali -pent). Mereka itu kekal di Jahannam."
Para pembaca, perhatikanlah kata-kata keji mereka! Dengan berbekal kedustaan dan kebencian, mereka berupaya meruntuhkan pondasi-pondasi Islam yang kokoh. Setelah Al-Qur`an mereka usik keabsahannya, maka kini giliran manusia-manusia terbaik umat ini dari para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mereka lecehkan dan kafirkan. Lalu Islam apa yang ada pada mereka?
Kenapa mereka menyembunyikan firman Allah yang artinya: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100) dan firman-Nya yang lain?!?
Tidak ingatkah mereka dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
"Janganlah kalian mencerca para shahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka (pahala) infaq kalian tidak akan mencapai (pahala) infaq sebanyak dua telapak tangan mereka bahkan tidak pula setengahnya." (Muttafaqun 'alaih)

Konspirasi Jahat di balik Pelecehan Mereka terhadap Para Shahabat
Ternyata di balik pelecehan mereka terhadap para shahabat, ada konspirasi jahat yang terselubung yaitu mencela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menggugurkan Al-Qur`an dan As-Sunnah sekaligus agama Islam.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata: "Mereka itu adalah suatu kaum yang sebenarnya berambisi untuk mencela Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam namun ternyata tidak mampu. Maka akhirnya mereka mencela para shahabatnya sampai kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat, karena kalau memang beliau orang baik, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang baik pula."
Al-Imam Abu Zur'ah rahimahullah berkata: "Bila engkau melihat seseorang merendahkan kedudukan seorang shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah Zindiq (munafiq). Sebab, Sunnah Rasul dan Al-Qur`an adalah kebenaran di sisi kita. Sedangkan yang menyampaikan Al-Qur`an dan As-Sunnah tadi kepada kita adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (Syi'ah Rafidhah) mencela para saksi kita dengan tujuan untuk menggugurkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Justru mereka inilah yang lebih pantas untuk dicela. Merekalah orang-orang zindiq."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Celaan terhadap mereka (para shahabat) adalah celaan terhadap agama ini."

Hukuman bagi Orang-orang yang Mencela Para Shahabat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam kitab Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul memberikan rincian tentang hukum orang yang mencela para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bisa diringkas sebagai berikut:
1. Bila orang tersebut mencela para shahabat dengan celaan yang tidak sampai menjatuhkan keadilan dan agama mereka seperti: mensifati para shahabat dengan kebakhilan, penakut, dangkal ilmunya dan selain itu maka dia tidak dihukumi sebagai orang yang murtad atau kafir. Hanya saja orang ini dihukum ta'zir (hukuman dera atau penjara yang dilaksanakan oleh pemerintah kaum muslimin setelah dimintai taubat dan diberi penjelasan -pent).
2. Adapun orang yang mencela para shahabat karena keyakinan bahwa mereka telah murtad atau sesat sepeninggal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak ragu lagi bahwa orang tersebut kafir (setelah memenuhi kriteria syari'at untuk dikafirkan -pent).
3. Demikian juga seseorang yang ragu terhadap kafirnya orang jenis kedua maka dia kafir.

Wallahu A'lam.
Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 29/II/II/1425, Yayasan As-Salafy Jember.

(Dikutip dari Bulletin Al Wala' wa Bara', Edisi ke-8 Tahun ke-3 / 14 Januari 2005 M / 03 Dzul Hijjah 1425 H. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=8&th=3#sub2)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=896

Sikap Ahlussunnah terhadap Shahabat Nabi-2

KEUTAMAAN SHAHABAT RASULULLAH

shalallahu ‘alaihi wasallam

Oleh: admin( http://www.assalafy.org/mahad/?p=254): Di: Aqidah


Para pembaca, semoga Allah merahmati kita semua, merupakan salah satu pokok yang mendasar dari keyakinan Ahlus Sunnah adalah penghormatan terhadap kedudukan dan keutamaan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, serta selamatnya hati dari kebencian dan kemarahan, serta selamatnya lisan dari celaan, hinaan, dan perkataan yang tidak pantas terhadap mereka.

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al Hasyr: 10)

Mereka hidup di masa yang terbaik, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya (generasi tabi’in[1]), kemudian yang setelahnya (generasi tabi’ut tabi’in[2]).” (HR. Al Bukhari no. 2458)

Keutamaan tersebut didapatkan karena mereka langsung berada di bawah bimbingan madrasah (pengajaran) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penerima wahyu dari Allah subhanahu wata’ala. Mereka memiliki keutamaan lebih di bidang ilmu dan amal shalih, serta kedudukan mereka sebagai pengemban dan penyampai syariah agama ini. Mereka adalah generasi yang saling bersaing di dalam kebaikan. Serta Islam jaya, tegak dan kokoh di masa mereka.

Masa para shahabat merupakan masa yang terbaik secara mutlak dibandingkan dengan masa umat-umat terdahulu maupun yang akan datang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diutus pada kurun (masa) yang terbaik dari Bani (keturunan) Adam.” (HR. Al Bukhari dari shahabat Abu Hurairah t)

Sehingga shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih mulia dari Hawariyyun (shahabat/penolong Nabi Isa ‘alaihissalam), 70 pemuda pilihan Nabi Musa ‘alaihissalam, dan shahabat para nabi-nabi yang terdahulu.

Para shahabat adalah perantara antara umat manusia dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Wahyu turun di masa mereka dan terkait dengan kondisi-kondisi mereka. Sehingga mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang makna-makna ayat-ayat Al Qur’an.

Merupakan kewajiban bagi kita untuk mencintai dan mengakui kedudukan mereka. Berlepas diri dari jalannya orang-orang yang ingin merendahkan kedudukannya. Seperti agama Syi’ah Rafidhah yang mereka mencela sebagian besar para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan melampaui batas dalam memuliakan keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Serta berlepas diri dari sekte An Nawashib, sebuah golongan yang membenci dan mencela keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Keutamaan yang ada di antara para shahabat bertingkat-tingkat sesuai dengan lebih dahulunya mereka masuk Islam, keterlibatan dalam jihad, hijrah, dan bergantung kepada amalan-amalan shalih lainnya, serta sejauh mana pembelaan mereka terhadap agama Allah subhanahu wata’ala dan Nabi mereka.

Pengertian shahabat

Siapakah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu? Mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. (Lebih lengkapnya lihat An Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar hal. 149, karya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah)

Keutamaan Muhajirin atas Anshar

Kaum Muhajirin adalah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka meninggalkan sanak saudara, kerabat, harta benda dan tempat tinggal, karena mereka lebih cinta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun kaum Anshar, mereka mempunyai keutamaan dengan pertolongan yang mereka berikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Muhajirin di Madinah.

Didahulukannya kaum Muhajirin daripada kaum Anshar di dalam Al Qur’an menunjukkan kaum Muhajirin lebih utama dari pada kaum Anshar. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan (artinya):

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (At Taubah: 100)

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar.” (At Taubah: 117)

Di antara deretan kaum Muhajirin tersebut adalah Abu Bakr, Umar bin Al Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu para shahabat yang memegang tampuk Khilafah Islamiyyah sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sekaligus sebagai orang-orang terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga kita diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka:

“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidun, gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Keutamaan para shahabat

Di antara keutamaannya adalah:

1. Mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah subhanahu wata’ala unruk menemani rasul-Nya. (lihat QS. Muhammad: 29)

2. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah subhanahu wata’ala. (lihat QS. At Taubah: 100)

3. Allah subhanahu wata’ala telah mengampuni para shahabat yang mengikuti perang Badar. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala kabarkan dalam hadits qudsi:

“Berbuatlah semau kalian, sungguh Aku telah mengampuni apa yang kalian perbuat.”

Jumlah para shahabat yang mengikuti perang Badar sekitar 300 orang. Mereka menghadapi pasukan Musyrikin yang berjumlah tiga kali lipat yaitu berjumlah 900 sampai 1000 pasukan. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/46)

4. Para shahabat yang mengikuti bai’at Ar Ridhwan, Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setiap kepadamu di bawah pohon.” (Al Fath: 18)

Dinamakan Bai’at Ar Ridhwan karena Allah subhanahu wata’ala telah ridha terhadap kaum mukminin ketika itu.

Jumlah para shahabat yang mengikuti Bai’at tersebut sekitar 1400, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim di dalam Shahihnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam salah satu haditsnya dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:

لاَ يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا

“Tidak akan masuk An Naar insya Allah dari para shahabat pohon salah seorang dari yang berba’iat di bawah pohon” (HR. Muslim no.4552)

5. Allah subhanahu wata’ala telah menjamin beberapa shahabat sebagai penghuni Al Jannah (surga), jaminan dari Rabbul ‘Alamin bukan dari statemen perorangan. Diantaranya, 10 orang yang diberi kabar sebagai penghuni Al Jannah

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Abu Bakr di Al Jannah, Umar di Al Jannah, Utsman di Al Jannah, Ali di Al Jannah, Thalhah di Al Jannah, Az Zubair di Al Jannah, Abdurrahman bin ‘Auf di Al Jannah, Sa’ad bin Abi Waqqash di Al Jannah, Sa’id bin Zaid di Al Jannah, Abu Ubaidah bin Al Jarrah di Al Jannah.” (HR. At Tirmidzi no.3748 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Shahabat ‘Ukkasyah bin Mihshan radhiallahu ‘anhu ketika meminta kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar dido’akan termasuk sebagai bagian dari 70.000 orang masuk Al Jannah tanpa hisab dan adzab, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan jawaban atas permintaannya tersebut bahwa dia termasuk salah satu di antaranya. (HR. Muslim no.320)

Shahabat Bilal bin Abi Rabbah radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

أًًًٌٌَََُُُرِيتُ الْجَنَّةَ فَرَأَيْتُ امْرَأَةَ أَبِي طَلْحَةَ ثُمَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَةً أَمَامِي فَإِذَا بِلاَلٌ

“Diperlihatkan kepadaku Al Jannah, maka aku melihat istri Abu Thalhah, dan aku mendengar suara terompah di depanku dan ternyata Bilal.” (HR. Muslim no. 4495)

Shahabat Tsabit bin Qais radhiallahu ‘anhu, ketika turun firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al Hujurat: 2), mengeluh kepada beberapa shahabat bahwa dirinya termasuk penghuni An Naar (neraka) kerena dia pernah berkata keras terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan kemudian menahan diri tidak bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau menyatakan bahwa Tsabit termasuk penghuni Al Jannah. (HR. Muslim no.170)

Al Hasan dan Al Husain, yang keduanya merupakan cucu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dinyatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin para pemuda penghuni Al Jannah (surga) dalam sabdanya:

الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Sesungguhnya Al Hasan dan Al Husain adalah pemimpin para pemuda di Al Jannah.” (HR. At Tirmidzi no. 3701)

Shahabat Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu, sebagaimana hadits dari shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tidak ada satu pun penghuni bumi yang masih hidup telah dipastikan sebagai penghuni Al Jannah kecuali Abdullah bin Salam.(HR. Al Bukhari no.3528)

Masih banyak hadits-hadits lain yang tidak bisa dicantumkan seluruhnya karena terbatasnya tempat.

Larangan mencela shahabat

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاََََََََتَسَُِبُّوا أَصَحَابِي, فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَنَصِيْفَهُ

“Janganlah kalian mencela shahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, walaupun salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai infaq mereka walaupun hanya satu mud maupun setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaih) (mud (Bhs. Arab): cakupan kedua telapak tangan yang disatukan, pen)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan tentang harta yang diinfakkan seseorang di jalan Allah subhanahu wata’ala, betapapun banyaknya tidak akan mampu untuk menyamai apa yang telah diinfakkan para shahabat walaupun sedikit, semua itu dikarenakan keimanan, ilmu, amal, dan kejujuran yang ada pada diri para shahabat. Barangsiapa yang mencintai para shahabat dan memuji mereka, maka telah menta’ati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan barangsiapa yang mencela mereka, maka telah bermaksiat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Asy Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkata: “Hadits di atas menunjukkan haramnya mencela shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam secara umum, terlebih lagi mencela mereka secara khusus.”(Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah II/253)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun untuk menyebutkan tentang kejelekan-kejelekan para shahabat, mencela salah seorang di antara mereka dengan menyebutkan berbagai aib atau kekurangannya, barangsiapa yang melakukannya maka dinasehati sampai dia bertaubat dan jika tidak maka dicambuk di dalam tahanan sampai dia meninggal atau bertaubat.”(Ash Sharimul Maslul hal. 573)

Penutup

Keutamaan para shahabat yang ada di atas, tidaklah menunjukkan bahwa yang tidak tercantum tidak mempunyai keutamaan dan keistimewaan, akan tetapi penyebutan tersebut cukup mewakili.

Banyak kitab-kitab yang menunjukkan tentang keutamaan mereka, baik secara perorangan maupun kaum.

Sedangkan secara umum, Allah subhanahu wata’ala telah memberikan pujian bagi mereka di dalam firman-Nya (artinya): “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Fath: 29)

Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang selamat hati dan lisannya dari segala sesuatu yang berkaitan dengan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga kita dipertemukan dengan mereka radhiallahu ‘anhum

di dalam Al Jannah.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.


[1] Tabi’un yaitu murid-murid para shahabat

[2] Tabi’ut Tabi’in yaitu murid-murid para tabi’in

Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=254

Sikap Ahlussunnah terhadap Shahabat Nabi-1

KEDUDUKAN PARA SHAHABAT,di sisi Allah dan Rasul-Nya,

serta Kaum Mukminin

Penulis : Prof. Dr. Robi’ bin Hadi Al-Madkhali-hafizhahullah-

Sesungguhnya para shahabat Rasulullah mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya serta di sisi kaum mukminin. Allah telah memuji mereka di dalam Al-Qur’anul Karim, mengkhabarkan keridhaan-Nya kepada mereka dan keridhaan mereka kepada Allah . Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya): “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah: 143)
Al-Khathib Al-Baghdadi berkata: “Lafazh ini (di atas) walaupun sifatnya umum, namun yang dimaksud adalah orang-orang tertentu (para shahabat). Ada yang berpendapat pula bahwa ini hanya berkaitan dengan para shahabat semata.” Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.” (Al-Fath: 18)
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (At-Taubah : 100)
“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk al jannah). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam al jannah yang penuh dengan kenikmatan.” (Al-Waqi’ah: 10-12)
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu’min yang mengikutimu.” (Al-Anfaal: 64)
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung,” (Al-Hasyr: 8-9). Dan ayat-ayat lainnya yang cukup banyak tentang keutamaan dan kedudukan mereka.


Adapun Rasulullah , sesungguhnya beliau telah memuji para shahabat dan menjelaskan keutamaan mereka dalam sekian banyak hadits-haditsnya. Di antaranya adalah sabda beliau :
“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah yang hidup di abadku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya, setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3650 dari shahabat Imran bin Hushain, dan Muslim no. 4533 dari hadits Ibnu Mas’ud, Imran bin Hushain, dan Abu Hurairah)
“Janganlah mencela para shahabatku, Janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan tangan atau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri)
Shahabat Abdullah bin Abbas berkata: “Janganlah mencela para shahabat Nabi Muhammad , sungguh keberadaan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah walau sesaat, lebih baik dari ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidupnya.” (Syarh Ath-Thahawiyyah hal. 532, berkata Asy-Syaikh Al-Albani: Shahih)


Shahabat Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sesungguhnya Allah melihat kepada hati segenap hamba-Nya, maka didapatilah hati Nabi Muhammad sebagai hati yang terbaik di antara hati para hamba, sehingga Allah memilihnya dan mengutusnya untuk mengemban risalah-Nya. Kemudian Allah melihat kepada hati para hamba maka didapatilah hati para shahabat Nabi sebagai hati-hati terbaik (setelah hati Nabi Muhammad ), sehingga Allah jadikan mereka sebagai para pembela Nabi-Nya, siap bertempur di atas agamanya. Segala apa yang dipandang baik oleh para shahabat maka di sisi Allah baik dan segala apa yang dipandang buruk oleh mereka maka buruk pula di sisi Allah.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 532, berkata Asy-Syaikh Al-Albani: Hasan mauquf, dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi, Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang hasan, Dishahihkan Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Al-Imam Ath-Thahawi (ketika menjelaskan prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah) berkata: “Kami mencintai para shahabat Rasulullah , tidak berlebihan di dalam mencintai salah seorang dari mereka dan tidak pula berlepas diri (bara’) terhadap siapa pun dari mereka. Kami membenci siapa saja yang membenci para shahabat dan yang menjelek-jelekkan mereka, dan tidaklah kami menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Kecintaan kepada mereka merupakan bagian dari agama, iman dan ihsan, sedangkan kebencian terhadap mereka merupakan suatu kekufuran, kemunafikan dan perbuatan yang melampaui batas.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 528)
Al-Khathib Al-Baghdadi setelah menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits seputar kedudukan dan keutamaan para shahabat, berkata: “Hadits-hadits yang semakna dengan ini cukup luas, semuanya sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an; yang kesemuanya itu membuktikan tentang kesucian para shahabat dan kepastian keadilan dan kebersihan mereka. Dengan adanya rekomendasi dari Allah (Dzat Yang Maha Mengetahui segala apa yang tersembunyi) untuk mereka ini, maka sungguh tidak seorang pun dari mereka yang butuh terhadap rekomendasi siapa pun dari makhluk di muka bumi ini. Para shahabat akan senantiasa berada dalam posisi yang mulia ini, kecuali bila salah seorang dari mereka benar-benar terbukti melakukan kemaksiatan dengan sengaja, maka gugurlah keadilan (rekomendasi) tersebut. Namun Allah telah bersihkan diri mereka dari perbuatan tersebut, bahkan Allah mengangkat derajat mereka di sisi-Nya. Dan kalaulah nash-nash pujian dari Allah dan Rasul-Nya untuk mereka ini tidak ada, maka amalan-amalan mereka, seperti: hijrah, jihad, membela agama Allah, mengorbankan nyawa dan harta, siap bertempur melawan orang tua dan anak (karena agama), saling menasehati dalam urusan agama, serta kuatnya iman dan keyakinan mereka, sudah menunjukkan secara yakin tentang keadilan dan kesucian mereka serta sebagai bukti bahwa mereka lebih utama dari semua pemberi rekomendasi dari generasi yang datang setelah mereka selama-lamanya. Inilah pendapat keseluruhan ulama dan orang-orang diperhitungkan kata-katanya dari kalangan fuqaha’.” (Al-Kifayah, hal. 96)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Di antara prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan lisan mereka terhadap para shahabat Rasulullah , sebagaimana yang Allah sifati dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan sudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Dan juga mentaati Rasulullah dalam sabdanya: “Janganlah mencela para shahabatku, Janganlah mencela para shahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infaq salah seorang dari mereka (para shahabat) yang hanya sebesar cakupan tangan atau setengahnya”, menerima segala apayang terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ tentang keutamaan dan martabat mereka, berlepas diri dari prinsip Syi’ah Rafidhah yang membenci dan mencela mereka, serta dari prinsip Nawashib (Khawarij) yang menyakiti Ahlul Bait (keluarga Rasul) dengan perkataan dan perbuatannya. Ahlussunnah Wal Jama’ah menahan diri dari apa (fitnah) yang terjadi di antara para shahabat, dengan mengatakan:
Sesungguhnya riwayat-riwayat tentang kejelekan mereka ada yang palsu, ada yang ditambah dan dikurangi serta dirubah-rubah dari yang sebenarnya. Adapun yang terjadi dengan sebenarnya maka mereka mendapat udzur dalam permasalahan tersebut, di antara mereka ada yang berijtihad dan benar ijtihadnya, di antara mereka ada pula yang berijtihad dan keliru ijtihadnya. Barangsiapa memperhatikan perjalanan hidup mereka dan segala keutamaan yang Allah karuniakan kepada mereka dengan ilmu dan bashirah, pasti dia akan mengetahui dengan penuh keyakinan bahwasanya mereka adalah makhluk terbaik setelah para Nabi, tidak ada yang manyamai mereka baik dulu ataupun di masa yang akan datang, dan mereka merupakan generasi pilihan umat ini, sebaik-baik umat dan yang paling mulia di sisi Allah".

(Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 142-151)

Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=110