Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Ad-Dzaariyaat: 56)
Sebagian ulama menafsirkan kalimat:
"supaya menyembah-Ku"
dengan makna:
"supaya mentauhidkan-Ku"
(Lihat Al-Qaulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)
Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". (Al-An`aam:88)
"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)
Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.
Tauhid adalah hak Allah subhanahu wa ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah subhanahu wa ta`ala.
Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah subhanahu wa ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.
Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.
Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
"Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (Thaha: 132)
Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.
Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun." (Al-Maaidah: 72)
Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk." (Al-An`aam: 82)
Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhari)
Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:
"Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)
Wallohu a`lam bish-shawaab.
Sumber: Buletin Al-Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Jogjakarta
Redaksi: Urwah, Miftah. Produksi: Abu Husain Munajat. Distribusi: Zain, Abu Abdirrahman, Kautsar, Aji.