Kesesatan Qaradhawi - Pemecah-belah Ummat
5. Gerakan Memecah-belah Umat
Gerakan memecah-belah umat Islam menjadi beberapa kelompok dan partai adalah rekayasa yang dilancarkan oleh Yahudi dan Nashara. Hati mereka sarat dengan kedengkian kepada kaum Muslimin. Mereka mempraktikkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai). Ini bukan hal yang aneh jika dilakukan oleh Yahudi dan Nashara karena mereka adalah kaum yang telah dicap Allah dengan kesesatan dan berhak untuk mendapat murka Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Katakanlah : “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Ma’idah : 60)
Namun sangat mengherankan jika gerakan memecah-belah umat Islam itu dilakukan oleh beberapa orang dari kalangan umat Islam yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pakar fiqih Islam --meski menurut timbangan Islam ia menyimpang--. Diantara orang yang menularkan pemikiran yang menyimpang tersebut adalah Yusuf Al Qaradhawi. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan Qaradhawi sendiri :
Berulang kali aku nyatakan dalam kitab-kitabku bahwa tidak ada larangan akan banyaknya jamaah yang bekerja untuk Islam, hendaknya ada jamaah yang lebih dari satu dan begitu juga hendaknya ada pergerakan yang lebih dari satu. Yang penting tiap jamaah atau harakah tidak menghancurkan dan tidak mencela yang lain namun mereka semua saling koordinasi untuk kerja sama dalam masalah-masalah besar. Seperti masalah Bosnia, setiap Muslim wajib menolong keadilan dan melawan kedhaliman.
Seperti juga masalah kelaparan di negeri Muslim, wajib bagi setiap jamaah dan pergerakan untuk bangkit membantu negeri tersebut. (Al Islaam wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi, halaman 89)
Membolehkan Banyaknya Firqah Dengan Pemikiran Dan Manhaj Yang Beragam
Yusuf Al Qaradhawi tidak melarang bangkitnya banyak golongan walaupun mereka semua berbeda visi dan misi. Dia mengatakan :
Bila kita mengatakan bolehnya banyak agama sebagaimana dalam pertanyaan yang lalu dan juga bahwa kehidupan itu mencakup lebih dari satu agama atau lebih dari satu peradaban dan kebudayaan. Kenapa tidak dalam satu agama atau dalam satu peradaban mencakup lebih dari satu aliran pemikiran. Tiada larangan dalam hal ini dan yang penting senantiasa ada ajang dan lahan kerja sama yang bisa menampung semua. (Al Islaam wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi, halaman 89)
Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Qaradhawi di harian Ar Raayah :
Beragam (golongan) yang disyariatkan adalah beragam pemikiran dan manhaj yang berdasarkan pada hujjah dan sandaran lalu disokong oleh para pendukungnya. Dan tiada ishlah (kompromi) melainkan dari celah ini. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Berpendapat Bahwa Perpecahan Adalah Solusi Damai
Karena masih belum puas dengan pendapatnya yang telah lalu, maka Qaradhawi melanjutkan dengan menjadikan iftiraq (perpecahan) kaum Muslimin menjadi beberapa firqah (kelompok) dan hizib (golongan) sebagai solusi yang damai. Dia mengatakan :
Sesungguhnya keberagaman menjadi satu hal yang penting pada masa sekarang ini karena hal itu sebagai bentuk benteng perlindungan dari tindakan pribadi atau kelompok tertentu yang memegang pemerintahan atau kekuasaan atas seluruh manusia. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Perpecahan kaum Muslimin menjadi bermacam-macam kelompok dan golongan adalah jargon yang senantiasa digembar-gemborkan Qaradhawi, seperti pengakuannya :
Aku senantiasa menyebutkan dalam berbagai kitab dan ceramah bahwa tidak ada larangan terhadap munculnya banyak jamaah yang berkhidmat untuk Islam selama persatuan sulit diwujudkan pada mereka karena adanya perbedaan tujuan, manhaj, pemahaman, dan kepercayaan sebagian mereka kepada sebagian yang lain.” (Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Lihatlah wahai saudaraku, inilah ucapan Qaradhawi yang mengandung berlipat-lipat kegelapan. Bagaimana mungkin jamaah-jamaah yang banyak ini berkhidmat kepada Islam tanpa ada persatuan bahkan persatuan mereka sulit terwujud seperti yang dikatakan oleh Qaradhawi sendiri? Bagaimana mungkin hal ini akan bisa bermanfaat bagi Islam sedangkan manhaj dan tujuan mereka berbeda-beda? Padahal manhaj Islam adalah satu dan barangsiapa yang membuat manhaj yang menyelisihi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beserta para shahabat apakah hal seperti itu bisa diharapkan untuk memenangkan Islam?
Semoga Allah merahmati Ibnu Hazm ketika mengatakan :
Allah tidak akan memenangkan Islam melalui tangan Ahli Bid’ah.
Untuk mendukung pendapat yang membolehkan perpecahan, pengkotak-kotakan, dan keterceraiberaian kaum Muslimin menjadi berbagai kelompok, golongan, dan jamaah, Qaradhawi mengaburkan pemahaman kaum Muslimin --seperti yang sudah menjadi kebiasaannya--. Qaradhawi berkata :
Sesungguhnya keberagaman (golongan) bukanlah berarti perpecahan. (Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Lihatlah wahai saudaraku! Inilah ucapan yang saling bertentangan dan sangat aneh. Demi Allah, jika ada seorang awam ditanya tentang keberagaman yang dibangun dan diperjuangkan oleh Qaradhawi, apakah itu perpecahan ataukah persatuan? Pasti dia akan menjawab tanpa keraguan sedikitpun bahwa itu adalah perpecahan.
Menjadikan Keberagaman Dan Pengelompokan Seperti Perbedaan Shahabat Dalam Memahami Hadits Laa Yushalliyanna Ahadukum Al ‘Ashra Illa Fii Bani Quraizhah (Jangan Kalian Shalat Ashar Kecuali Di Bani Quraizhah)
Perhatikanlah teks ucapan Qaradhawi :
Sesungguhnya keberagaman (golongan) bukanlah berarti perpecahan sebagaimana sebagian perbedaan tidaklah tercela seperti perbedaan pendapat sebagai dampak dari perbedaan dalam masalah ijtihad. Karena itulah dahulu para shahabat juga berbeda pendapat dalam berbagai masalah furu’ (cabang) dan hal itu tidak membahayakan mereka sedikit pun. Bahkan mereka juga sudah berbeda pendapat pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sebagian masalah, misalnya perbedaan tentang shalat Ashar dalam perjalanan ke Bani Quraizhah. Kisah sangat terkenal dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mencela kepada salah satu dari dua kelompok yang berbeda pendapat tadi. Sebagian mengkategorikan perbedaan jenis ini sebagai ikhtilaf rahmat yang sangat luas bagi umat. Dalam hal ini atsar yang mengatakan ikhtilaafu ummatii rahmah (perbedaan umatku adalah rahmat). Dan pada masalah ini ada kitab yang ditulis dengan judul Rahmatul Ummah bi Ikhtilaafil A’immah. (Rahmatnya Umat Dengan Perbedaan Para Pemimpin) [Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995]
Para pembaca yang budiman, apakah termasuk ajaran agama menjadikan perselisihan diantara golongan yang banyak seperti perselisihan shahabat dalam masalah shalat di Bani Quraizhah? Atau di sana ada perbedaan yang mencolok tanpa samar lagi? Sesungguhnya para shahabat radliyallahu 'anhum meniti satu manhaj sedangkan perselisihan seperti ini adalah perbedaan dalam memahami hadits yang mengandung beberapa kemungkinan.
Sedangkan perbedaan yang terjadi di antara kelompok golongan saat ini tidaklah sama dengan perbedaan shahabat dalam memahami hadits tentang shalat di Bani Quraizhah. Golongan-golongan yang ada pada saat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu golongan Islam yang terdiri dari banyak firqah dan golongan sekuler. Lalu, apakah perbedaan dan perselisihan antara kelompok komunis partai Ba’ts, kelompok-kelompok kufur lainnya, dan kelompok-kelompok yang menyandarkan dirinya kepada Islam bisa dikatakan seperti perselisihan yang terjadi di kalangan shahabat dalam memahami sabda Nabi Laa Yushalliyanna Ahadukum Al ‘Ashra Illaa Fii Banii Quraizhah?!
Kalaulah kita umpamakan bahwa perselisihan kelompok yang dikehendaki oleh Qaradhawi adalah perselesihan antara kelompok-kelompok Islam namun ini tetap tidak bisa diterima dari sisi manapun. Sebab manhaj yang wajib dipegang oleh kaum Muslimin secara umum adalah manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni mengambil Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah.
Saat ini, perselisihan terjadi antara kelompok-kelompok Islam dengan pihak-pihak yang membawa manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah yang murni. Apakah perselisihan ini sama dengan perselisihan yang terjadi pada shahabat? Ini tidak benar! Karena manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah tegak di atas tauhid kepada Allah dalam Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ was Shifat serta konsisten dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat. Sedangkan firqah-firqah yang ada sekarang menyelisihi manhaj ini. Misalnya, manhaj ikhwanul muslimin ditegakkan di atas mengabaikan syariat, menjadikan akal sebagai dasar dakwah, menyerukan untuk mencintai ahli kitab, banyak memperolok-olok sunnah, dan lain-lain. Begitu juga dengan manhaj tabligh yang ditegakkan di atas penyimpangan terhadap nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah.
Demikian pula dengan manhaj hizbut tahrir, jihadiyin, takfiriyin, dan firqah-firqah lainnya.
Lantas bagaimana Qaradhawi menjadikan perselisihan, perpecahan, dan pengelompokan yang ada sekarang ini sama dengan perbedaan pendapat di kalangan shahabat dalam masalah shalat Ashar di Bani Quraizhah?
Lalu bagaimana mungkin perselisihan dan perbedaan ini disebut sebagai rahmat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud : 118-119)
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan bahwa orang-orang yang berselisih bukanlah orang-orang yang mendapat rahmat-Nya. Hadits ikhtilaafu ummatii rahmah yang dijadikan dalil oleh Qaradhawi adalah dhaif karena tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Jadi, pengambilan dalil yang dilakukan oleh Qaradhawi adalah tidak benar sama sekali.
Tentang hadits ikhtilaafu ummatii rahmah, As Subki mengatakan : “Hadits ini tidak dikenal oleh para Ahli Hadits dan saya tidak mendapati sanadnya, baik yang shahih, dhaif, maupun yang palsu.”
Syaikh Al Albani rahimahullah berkomentar : “Ahli Hadits telah bersungguh-sungguh dalam melacak sanadnya namun mereka tidak berhasil mendapatkannya.” Dikutip dari Ibnu Hazm rahimahullah dalam Kitab Al Ihkaam Min Ushuulil Ahkaam juz V halaman 64 : “Ini adalah perkataan yang paling rusak karena jikalau perselisihan merupakan rahmat maka pasti kesepakatan merupakan kemurkaan dan ini tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim. Karena yang ada hanyalah kesepakatan atau perbedaan dan rahmat atau kemurkaan.”
Kemudian Syaikh Al Albani rahimahullah menambahkan : “Singkat kata, perselisihan adalah hal yang tercela menurut syariat. Maka wajib berupaya untuk keluar darinya semaksimal mungkin karena hal itu merupakan salah satu sebab dari kelemahan umat ini, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‘Janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.’ (QS. Al Anfal : 46)
Ridha terhadap perselisihan umat dan menamakan perselisihan sebagai rahmat bagi umat adalah pendapat yang menyelisihi ayat-ayat Al Qur’an yang jelas-jelas telah mencelanya. Pendapat ini sangat tidak berdasar kecuali sebuah hadits yang tidak ada asalnya.”
Menganggap Perpecahan Dan Pengelompokan Sama Dengan Banyaknya Madzhab Fiqih
Masih belum puas juga dengan talbis yang telah lalu maka kemudian Qaradhawi terang-terangan mengatakan bahwa kelompok-kelompok dan perpecahan yang ada sekarang ini tidak lain seperti banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. Katanya :
Banyaknya partai/golongan dalam masalah politik serupa dengan banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Inilah kedustaan yang mengandung kebimbangan. Sangat besar ucapan yang keluar dari mulutmu, wahai fakihudh dhalal (ahli fiqih yang sesat)! Bagaimana engkau menjadikan perselisihan di antara kelompok-kelolmpok politik yang mengingkari agama dengan kaum Muslimin yang mengagungkan agama seperti perselisihan Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i dalam masalah fiqih?!
Perbedaan pendapat para imam itu disebabkan karena adanya dalil yang mengandung dua sisi kemungkinan dan dua pemahaman atau dengan sebab tidak sampainya suatu dalil kepada salah seorang dari mereka atau dengan sebab shahihnya suatu hadits menurut salah seorang dari mereka dan tidak shahih menurut yang lain atau dengan sebab lainnya yang banyak disebutkan oleh para ulama. Seperti yang dijabarkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab Raf’ul Malam ‘An A’immatil ‘Alam, bahwa manhaj mereka adalah satu yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman shahabat radliyallahu 'anhum serta orang-orang yang meniti manhaj mereka itu.
Sedangkan kelompok-kelompok yang dimaksud oleh Qaradhawi itu semuanya meniti manhajnya masing-masing. Komunis bermanhaj Marxis dan Leninis. Manhaj pengikut Ba’ts adalah manhaj seorang Nashrani Michele Aflaq, manhaj ikhwanul muslimin adalah manhaj demokrasi yang bercampur dengan manhaj mengikuti hawa nafsu dan mengedepankan akal daripada naql serta taklid kepada musuh-musuh Islam dan lain-lainnya. Lalu apakah masih sama perselisihan mereka itu dengan para imam yang semoga Allah merahmatinya? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Larangan Berhizib Dan Berfirqah Dalam Al Qur’an Dan As Sunnah
Saudaraku pembaca yang budiman, sesungguhnya Qaradhawi berada di persimpangan jalan antara Al Qur’an dan As Sunnah di satu sisi dan para ulama Islam berada pada sisi yang lain. Agar semakin jelas bagi pembaca bahwa dia telah jauh dari Al Qur’an dan As Sunnah, inilah dalil-dalil tentang larangan berhizib dan berfirqah :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mukminun : 52)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Rum : 32)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat janganlah kalian seperti orang-orang musyrik yang memecah-belah agama mereka :
“Yakni mengganti dan merubah serta beriman kepada sebagian dan kufur dengan sebagian yang lain. Sebagian Ahli Tafsir membaca faaraquu diinahum, meninggalkannya di belakang punggung mereka, mereka itu seperti yahudi dan nashrani , majusi dan para penyembah berhala serta seluruh pemeluk agama sesat dari selain Ahlul Islam, sebagaimana firman Allah :
‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. Al An’am : 159)
Maka para pemeluk agama sebelum kita telah berselisih antara mereka menjadi beberapa pemikiran dan permisalan yang bahtil. Setiap golongan yang mengaku bahwa merekalah yang benar dan umat ini juga telah berselisih dan setiap ajaran adalah sesat kecuali hanya satu, itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan ajaran generasi pertama dari para shahabat, tabi’in, dan A’immah Muslimin dari dahulu sampai sekarang.” (Tafsiir Al Qur’aanul ‘Adhiim III:434)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Asy Syaukani menyebutkan pendapat para ulama adalah tentang siapakah orang-orang yang memecah-belah agama sampai beliau berkata :
“Dikatakan bahwa ayat ini umum pada seluruh orang kafir dan para mubtadi’ yang membawa ajaran yang tidak diperintah Allah. Inilah pendapat yang benar karena lafadh ini sifatnya umum. Maka termasuk di dalamnya adalah golongan ahli kitab, musyrikin, dan ahli bid’ah dari Ahlul Islam. Adapun arti syiya’an adalah firqah-firqah dan hizb-hizb. Maka sesuai dengan setiap umat yang dahulu perkaranya dalam ad din adalah satu kemudian setiap jamaah mengikuti pendapat para pembesarnya yang menyelisihi kebenaran dan Al Haq. Lasta minhum fii syai’in, bukan engkau termasuk dari golongan mereka ataupun mempertanggungjawabkan atas sebab perpecahan, penghiziban mereka sedikitpun.” (Fathul Qadiir pada ayat tersebut di atas)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)
Ibnu Katsir berkata : “Firman Allah jangalah kamu bercerai berai maksudnya Allah memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah.” Kemudian beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah :
“Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara dan membenci tiga perkara. Maka Allah meridhai tiga perkara bila kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berpecah. Dan Allah membenci tiga perkara, banyak berkata dengan katanya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.”
Kemudian beliau berkata : “Mereka telah terjamin dari kesalahan ketika mereka bersepakat sebagaimana disebutkan oleh banyak hadits dan memperingatkan mereka dari perpecahan dan perselisihan. Dan hal ini telah terjadi pada umat ini lalu mereka berpecah menjadi 73 golongan, di antaranya ada satu golongan yang selamat masuk ke Surga dan terbebas dari adzab neraka.
Mereka itulah yang mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran : 105)
“Dan mereka masih tetap berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabb-mu. Dan oleh karena itu Dia menciptakan mereka.” (QS. Hud : 118-119)
Pemahaman dari ayat ini adalah orang yang berpecah dan berselisih bukanlah termasuk orang yang dirahmati Allah. Sebaliknya orang yang bersatu dan bersepakat, merekalah orang yang mendapat rahmat.
Ibnu Katsir berkata :
“Firman Allah wa laa yazaaluuna mukhtalifiina yaitu : Dan perselisihan senantiasa terjadi di antara manusia dalam agama, ajaran, golongan, madzhab, dan pendapat mereka. Ikrimah berkata : ‘Mereka berselisih dalam Al Huda.’ Hasan Al Bashri berkata : ‘Mereka berbeda dalam rezeki, sebagian mereka ditundukkan untuk sebagian yang lain.’ Dan yang masyhur dan shahih adalah yang pertama.’
Dan firman-Nya illaa man rahima Rabbuka yaitu : Kecuali orang-orang yang dirahmati dari para pengikut Rasul yang mereka berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan sesuai dengan apa yang diberikan para Rasul Allah kepada mereka dan langkah mereka terus sampai datangnya penutup para Nabi dan Rasul. Maka mereka mengikuti, membenarkan, dan menolongnya sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)
Hadits dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu dia mati maka ia mati dalam kejahiliyahan.” (HR. Muslim)
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah maka sungguh telah memecah persatuan Muslimin.”
Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata : “Perselisihan adalah kejahatan.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Allah telah mencela perselisihan pada banyak ayat dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
‘Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh.’” (QS. Al Baqarah : 176)
Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat-ayat yang melarang perpecahan dan perselisihan yang telah tersebut sebagiannya sehingga beliau berkata : “Maka tidak ada lagi petunjuk dalam Ad Din kecuali dengan penjelasan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ayat-ayat-Nya sehingga berselisih dalam Ad Din adalah haram.” Setelah menyebutkan ayat-ayat yang diisyaratkan, beliau berkata :
“Apa yang telah kami sebutkan telah cukup (sebagai dalil) bahwa Allah telah menentukan perselisihan sebagai penyimpangan dan kejahatan dan Allah telah melarang perselisihan dan perpecahan dalam Ad Din. Allah juga mengancam perselisihan tersebut dengan siksaan yang berat, dengan hilangnya kekuatan mereka, dan mengabarkan bahwa perselisihan adalah mencerai-beraikan dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan-Nya maka telah terperosok di jalan syaithan.” (Ihkaam fii Ushuulil Ahkam V:67)
Imam Al Khattabi berkata : “Perpecahan itu ada dua macam. Pertama, perpecahan agama dan pemikiran. Kedua, perpecahan personal dan jasmani. Dari kedua perpecahan tersebut, perpecahan dalam agama adalah terlarang menurut akal dan haram secara ushuliyah. Perpecahan ini menyebabkan kesesatan dan kelalaian. Seandainya manusia dibiarkan berpecah-belah pastilah terpecah pemikiran dan ajaran manusia. Dan pastilah akan banyak agama dan pemahaman sehingga diutusnya para Rasul tidaklah mempunyai faidah. Bahkan itulah yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur’an.” (Al Uzlah oleh Al Khattabi, halaman 57)
Imam Asy Syatibi berkata : “Sesungguhnya Al Haq adalah satu, tak berselisih. Sebab apabila Al Haq mempunyai golongan-golongan maka tidaklah dikatakan kecuali hanya satu karena perselisihan telah ditiadakan dalam syariah sama sekali. Justru syariah adalah pemutus antara orang yang berselisih. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).’ (QS. An Nisa’ : 59)
Oleh karena itu, mengembalikan perselisihan haruslah kepada syariat. Seandainya syariat itu menuntut adanya perselisihan maka tidaklah berfaidah pengembalian perselisihan tersebut kepada syariat. Adapun kata fii syai’in, lafadh ini nakirah dalam bentuk syarat merupakan salah satu bentuk yang mengandung keumuman dan mencakup segala macam perselisihan. Maka pengembaliannya kepada syariat adalah mengembalikan kepada perkara yang satu dan tidak diperkenankan adanya bermacam firqah dan Ahlul Haq.
Firman Allah :
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.’ (QS. Al An’am : 153)
Ayat ini merupakan nash dalam hal yang kita bicarakan bahwa jalan yang satu tidak memperkenankan adanya perselisihan, berbeda dengan jalan-jalan yang berlainan arah.” (Al I’tishaam II:249)
Telah penulis sebutkan perkataan beberapa ulama tafsir tentang ayat yang berkaitan dengan larangan perpecahan dan perselisihan. Begitu pula peringatan para ulama pada zaman sekarang ini terhadap al hizbiyah dan al firqah di pelbagai buku dan kaset mereka sesuai dengan jalan ulama pendahulu mereka. Berikut sebagian dari peringatan tersebut.
Asy Syaikh bin Baz rahimahullah berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah dalam masyarakat Muslim adalah tujuan utama syaithan dan orang-orang yang memusuhi Islam. Hal ini disebabkan karena adanya kesepakatan dan persatuan serta kewaspadaan kaum Muslimin akan bahaya yang mengancam dan mengarah kepada aqidah menjadikan mereka giat untuk melawan hal tersebut dan bekerja sama dalam satu barisan untuk kemaslahatan Muslimin serta menghindarkan mara bahaya dari Ad Din, negeri, dan saudara-saudara mereka.
Ini adalah jalan yang tidak disukai oleh para musuh Islam dari jin dan manusia, oleh karena itu mereka berusaha untuk memecah-belah persatuan Muslimin dan mencerai-beraikan barisan mereka serta menebar benih-benih permusuhan di antara kaum Muslimin. Mudah-mudahan Allah senantiasa menyatukan kalimat Muslimin di atas Al Haq dan menghilangkan segala fitnah dan kesesatan dari mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang menjamin dan berkehendak atas semua itu.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqaalaat Asy Syaikh Ibn Baaz V:203-204)
Syaikh Al Albani rahimahullah, Imam Ahlus Sunnah pada zaman ini ditanya tentang masalah sebagai berikut :
“Bagaimana hukum syar’i tentang berbagai macam jamaah, hizb, dan pergerakan Islam yang berbeda manhaj, uslub dakwah, aqidah dan asas karena jamaah yang haq hanya satu sebagaimana ditunjukkan oleh hadits?”
Syaikh menjawab : “Tidak tersamar lagi bagi setiap Muslim yang mengetahui Al Qur’an, As Sunnah, dan amalan para Salafus Shalih bahwa berhizb dan bergabung dalam jamaah yang berbeda pemahaman, manhaj dan uslub bukan dari ajaran Islam sedikitpun, bahwa hal tersebut dilarang oleh Rabb kita dalam beberapa ayat Al Qur’an.”
Kemudian beliau menyitir ayat-ayat yang telah lalu dan menganjurkan untuk berpegang dengan manhaj Salaf dan memberikan peringatan dari menyelisihi manhaj tersebut. Beliau berkata :
“Oleh karena itu kami berkeyakinan dengan pasti bahwa setiap jamaah yang tidak berlandaskan asas dari Al Qur’an, As Sunnah, dan manhaj Salafus Shalih yang mencakup segala hukum Islam, baik yang besar ataupun yang kecil, ushul dan furu’-nya maka jamaah ini bukanlah termasuk Al Firqatun Najiah yang berjalan di atas Shiraathal Mustaqiim.
Kami tidak berkeyakinan bahwa hizb-hizb ini berada di atas Shiraathal Mustaqiim, bahkan kami memastikan bahwa mereka berada di atas jalan-jalan yang dipimpin oleh syaithan-syaithan yang mengajak mereka untuk mengikutinya.” (Fataawaa Asy Syaikh Al Albani 106-114)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Adakah terdapat nash-nash dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang membolehkan bermacam-macamnya jamaah Islamiyah?”
Beliau menjawab : “Hal tersebut tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah bahkan di dalamnya terdapat pencelaan terhadap hal tersebut. Allah berfirman :
‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. Al An’am : 159)
Dan firman-Nya :
‘Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dengan apa yang ada pada golongan mereka.’ (QS. Ar Rum : 32)
Tidak syak lagi bahwa hizb-hizb ini bertentangan (berlawanan) dengan perintah Allah dan anjuran-Nya. Firman Allah :
‘Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu maka bertakwalah kepada-Ku.’ (QS. Al Mukminun : 52)
Terhadap perkataan sebagian dari mereka : ‘Sesungguhnya dakwah tidak mungkin menjadi kuat kecuali apabila berada di bawah sebuah hizb.’ Kami menjawab ini tidak benar. Dakwah akan menjadi kuat apabila seseorang bernaung di bawah Al Qur’an dan As Sunnah serta mengikuti atsar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin.
Banyaknya jamaah adalah fakta buruk bukan fakta yang benar (sehat). Dan menurut pendapatku, hendaknya umat ini menjadi satu hizib bernaung di bawah Al Qur’an dan As Sunnah.” (Ibn Utsaimin, Ash Shahwah Al Islaamiyah 154-155)
Syaikh Shalih Al Fauzan rahimahullah ditanya tentang hukum jamaah-jamaah (golongan-golongan) dalam Islam. Maka beliau menjawab : “Perpecahan bukanlah dari Ad Din karena ia memerintahkan kita untuk bersatu dan menjadi satu jamaah dan satu umat yang berlandaskan aqidah tauhid dengan meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian beliau menyitir ayat-ayat tersebut sampai beliau berkata :
“Jamaah-jamaah dan perpecahan yang terjadi di dunia Islam pada saat ini tidak diakui oleh Din Islam bahkan sangat dilarang. Dan Islam menganjurkan untuk bersatu di atas aqidah tauhid dan manhaj Islam menjadi satu jamaah dan satu umat sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan perpecahan dan banyaknya jamaah tidak lain hanyalah perangkap syaithan dari kalangan jin dan manusia terhadap umat ini.” (Syaikh Rabi’, Jama’ah Waahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraath Waahid Laa ‘Asyaraat halaman 183-184)
Dalam kitab-kitab dan makalah-makalah, beberapa ulama telah memperingatkan umat dari bahaya dan kebathilan berhizb. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah telah menulis risalah khusus dengan judul Al Baraa’ah minal Hizbiyah. Risalah yang bermanfaat ini telah dicetak dan terdapat di dalam Kitab Qam’ul Mu’aanid. Saya menyarankan kepada para thalabul ilmi untuk membacanya.
Al Qaradhawi Mengingkari Nash-Nash Yang Melarang Berfirqah Dan Berhizib
Saudaraku pembaca yang budiman, telah kita simak bersama ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang banyak menyebutkan haramnya berhizib. Demikian pula dengan perkataan dan fatwa para ulama, semua menyatakan haramnya perselisihan dan perpecahan. Janganlah heran apabila penulis berkata bahwa Qaradhawi mengingkari adanya nash-nash yang melarang berhizib dan berfirqah karena Qaradhawi pernah berkata :
Pendapat yang aku umumkan semenjak bertahun-tahun dalam ceramah-ceramah umum dan pertemuan-pertemuan khusus bahwa tidak ada larangan syar’i dari adanya berbagai macam hizib siyasi (partai politik) di negara Islam. Karena larangan syar’i membutuhkan adanya nash dan tidak ada nash yang melarang hal tersebut. (Harian Ar Raayah nomor 472, 23 Februari 1995 M)
Pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita betapa jauhnya pijakan Qaradhawi dari Al Qur’an dan As Sunnah serta penentangannya terhadap para ulama Islam! Hal ini menunjukkan beberapa hal : Pertama, kemungkinan Qaradhawi jahil terhadap Al Qur’an dan As Sunnah serta jarang menelaah perkataan Ahlul Ilmi. Maka seharusnya dia tidak layak mengeluarkan fatwa karena pendapat orang jahil hanya akan menyesatkan manusia. Kedua, mungkin Qaradhawi telah mengetahui dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah tapi tidak mau mengindahkan dan merenunginya. Maka tidak boleh bagi umat Islam untuk mengambil perkataan dari orang model ini dan memberikan kedudukan kepadanya. Kedua kemungkinan tersebut sama-sama pahitnya (berbahaya).
Tidak Mencegah Berdirinya Partai Kristen Di Negeri Islam
Alangkah baiknya jika Qaradhawi menghentikan pendapatnya yang bathil sampai di sini saja. Tetapi dia malah menambah parah kebathilannya dengan menyatakan bahwa tidak ada larangan terhadap berdirinya partai (hizib) kristen di negara Islam. Hal ini disampaikan ketika menanggapi larangan pemerintah Mesir atas berdirinya partai berlandaskan agama tapi mengizinkan partai komunis yang mengingkari agama.
Lalu disampaikan bantahan kepada Qaradhawi : “Apabila dikatakan bahwa hal ini bisa menyebabkan timbulnya tuntutan kalangan nashrani untuk mendirikan sebuah partai, penjelasannya adalah dikatakan kepada orang-orang Islam yang menuntut adanya partai di sini, perbuatan kalian mendorong kalangan kristen untuk menuntut berdirinya partai kristen.”
Qaradhawi menjawab bantahan itu sebagai berikut :
Secara pribadi saya tidak menentang adanya partai kristen untuk menampung aspirasi mereka walaupun partai Islam telah membuka keanggotaannya bagi kaum Muslimin dan non Muslim. (Al Islaam Wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi halaman 61)
(Sumber : Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari'at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)
Dikutip lengkap dari : http://salafy.cjb.net/
Gerakan memecah-belah umat Islam menjadi beberapa kelompok dan partai adalah rekayasa yang dilancarkan oleh Yahudi dan Nashara. Hati mereka sarat dengan kedengkian kepada kaum Muslimin. Mereka mempraktikkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai). Ini bukan hal yang aneh jika dilakukan oleh Yahudi dan Nashara karena mereka adalah kaum yang telah dicap Allah dengan kesesatan dan berhak untuk mendapat murka Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Katakanlah : “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Ma’idah : 60)
Namun sangat mengherankan jika gerakan memecah-belah umat Islam itu dilakukan oleh beberapa orang dari kalangan umat Islam yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pakar fiqih Islam --meski menurut timbangan Islam ia menyimpang--. Diantara orang yang menularkan pemikiran yang menyimpang tersebut adalah Yusuf Al Qaradhawi. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan Qaradhawi sendiri :
Berulang kali aku nyatakan dalam kitab-kitabku bahwa tidak ada larangan akan banyaknya jamaah yang bekerja untuk Islam, hendaknya ada jamaah yang lebih dari satu dan begitu juga hendaknya ada pergerakan yang lebih dari satu. Yang penting tiap jamaah atau harakah tidak menghancurkan dan tidak mencela yang lain namun mereka semua saling koordinasi untuk kerja sama dalam masalah-masalah besar. Seperti masalah Bosnia, setiap Muslim wajib menolong keadilan dan melawan kedhaliman.
Seperti juga masalah kelaparan di negeri Muslim, wajib bagi setiap jamaah dan pergerakan untuk bangkit membantu negeri tersebut. (Al Islaam wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi, halaman 89)
Membolehkan Banyaknya Firqah Dengan Pemikiran Dan Manhaj Yang Beragam
Yusuf Al Qaradhawi tidak melarang bangkitnya banyak golongan walaupun mereka semua berbeda visi dan misi. Dia mengatakan :
Bila kita mengatakan bolehnya banyak agama sebagaimana dalam pertanyaan yang lalu dan juga bahwa kehidupan itu mencakup lebih dari satu agama atau lebih dari satu peradaban dan kebudayaan. Kenapa tidak dalam satu agama atau dalam satu peradaban mencakup lebih dari satu aliran pemikiran. Tiada larangan dalam hal ini dan yang penting senantiasa ada ajang dan lahan kerja sama yang bisa menampung semua. (Al Islaam wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi, halaman 89)
Pendapat tersebut dipertegas lagi oleh Qaradhawi di harian Ar Raayah :
Beragam (golongan) yang disyariatkan adalah beragam pemikiran dan manhaj yang berdasarkan pada hujjah dan sandaran lalu disokong oleh para pendukungnya. Dan tiada ishlah (kompromi) melainkan dari celah ini. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Berpendapat Bahwa Perpecahan Adalah Solusi Damai
Karena masih belum puas dengan pendapatnya yang telah lalu, maka Qaradhawi melanjutkan dengan menjadikan iftiraq (perpecahan) kaum Muslimin menjadi beberapa firqah (kelompok) dan hizib (golongan) sebagai solusi yang damai. Dia mengatakan :
Sesungguhnya keberagaman menjadi satu hal yang penting pada masa sekarang ini karena hal itu sebagai bentuk benteng perlindungan dari tindakan pribadi atau kelompok tertentu yang memegang pemerintahan atau kekuasaan atas seluruh manusia. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Perpecahan kaum Muslimin menjadi bermacam-macam kelompok dan golongan adalah jargon yang senantiasa digembar-gemborkan Qaradhawi, seperti pengakuannya :
Aku senantiasa menyebutkan dalam berbagai kitab dan ceramah bahwa tidak ada larangan terhadap munculnya banyak jamaah yang berkhidmat untuk Islam selama persatuan sulit diwujudkan pada mereka karena adanya perbedaan tujuan, manhaj, pemahaman, dan kepercayaan sebagian mereka kepada sebagian yang lain.” (Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Lihatlah wahai saudaraku, inilah ucapan Qaradhawi yang mengandung berlipat-lipat kegelapan. Bagaimana mungkin jamaah-jamaah yang banyak ini berkhidmat kepada Islam tanpa ada persatuan bahkan persatuan mereka sulit terwujud seperti yang dikatakan oleh Qaradhawi sendiri? Bagaimana mungkin hal ini akan bisa bermanfaat bagi Islam sedangkan manhaj dan tujuan mereka berbeda-beda? Padahal manhaj Islam adalah satu dan barangsiapa yang membuat manhaj yang menyelisihi manhaj Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beserta para shahabat apakah hal seperti itu bisa diharapkan untuk memenangkan Islam?
Semoga Allah merahmati Ibnu Hazm ketika mengatakan :
Allah tidak akan memenangkan Islam melalui tangan Ahli Bid’ah.
Untuk mendukung pendapat yang membolehkan perpecahan, pengkotak-kotakan, dan keterceraiberaian kaum Muslimin menjadi berbagai kelompok, golongan, dan jamaah, Qaradhawi mengaburkan pemahaman kaum Muslimin --seperti yang sudah menjadi kebiasaannya--. Qaradhawi berkata :
Sesungguhnya keberagaman (golongan) bukanlah berarti perpecahan. (Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Lihatlah wahai saudaraku! Inilah ucapan yang saling bertentangan dan sangat aneh. Demi Allah, jika ada seorang awam ditanya tentang keberagaman yang dibangun dan diperjuangkan oleh Qaradhawi, apakah itu perpecahan ataukah persatuan? Pasti dia akan menjawab tanpa keraguan sedikitpun bahwa itu adalah perpecahan.
Menjadikan Keberagaman Dan Pengelompokan Seperti Perbedaan Shahabat Dalam Memahami Hadits Laa Yushalliyanna Ahadukum Al ‘Ashra Illa Fii Bani Quraizhah (Jangan Kalian Shalat Ashar Kecuali Di Bani Quraizhah)
Perhatikanlah teks ucapan Qaradhawi :
Sesungguhnya keberagaman (golongan) bukanlah berarti perpecahan sebagaimana sebagian perbedaan tidaklah tercela seperti perbedaan pendapat sebagai dampak dari perbedaan dalam masalah ijtihad. Karena itulah dahulu para shahabat juga berbeda pendapat dalam berbagai masalah furu’ (cabang) dan hal itu tidak membahayakan mereka sedikit pun. Bahkan mereka juga sudah berbeda pendapat pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sebagian masalah, misalnya perbedaan tentang shalat Ashar dalam perjalanan ke Bani Quraizhah. Kisah sangat terkenal dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mencela kepada salah satu dari dua kelompok yang berbeda pendapat tadi. Sebagian mengkategorikan perbedaan jenis ini sebagai ikhtilaf rahmat yang sangat luas bagi umat. Dalam hal ini atsar yang mengatakan ikhtilaafu ummatii rahmah (perbedaan umatku adalah rahmat). Dan pada masalah ini ada kitab yang ditulis dengan judul Rahmatul Ummah bi Ikhtilaafil A’immah. (Rahmatnya Umat Dengan Perbedaan Para Pemimpin) [Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995]
Para pembaca yang budiman, apakah termasuk ajaran agama menjadikan perselisihan diantara golongan yang banyak seperti perselisihan shahabat dalam masalah shalat di Bani Quraizhah? Atau di sana ada perbedaan yang mencolok tanpa samar lagi? Sesungguhnya para shahabat radliyallahu 'anhum meniti satu manhaj sedangkan perselisihan seperti ini adalah perbedaan dalam memahami hadits yang mengandung beberapa kemungkinan.
Sedangkan perbedaan yang terjadi di antara kelompok golongan saat ini tidaklah sama dengan perbedaan shahabat dalam memahami hadits tentang shalat di Bani Quraizhah. Golongan-golongan yang ada pada saat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu golongan Islam yang terdiri dari banyak firqah dan golongan sekuler. Lalu, apakah perbedaan dan perselisihan antara kelompok komunis partai Ba’ts, kelompok-kelompok kufur lainnya, dan kelompok-kelompok yang menyandarkan dirinya kepada Islam bisa dikatakan seperti perselisihan yang terjadi di kalangan shahabat dalam memahami sabda Nabi Laa Yushalliyanna Ahadukum Al ‘Ashra Illaa Fii Banii Quraizhah?!
Kalaulah kita umpamakan bahwa perselisihan kelompok yang dikehendaki oleh Qaradhawi adalah perselesihan antara kelompok-kelompok Islam namun ini tetap tidak bisa diterima dari sisi manapun. Sebab manhaj yang wajib dipegang oleh kaum Muslimin secara umum adalah manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni mengambil Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah.
Saat ini, perselisihan terjadi antara kelompok-kelompok Islam dengan pihak-pihak yang membawa manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah yang murni. Apakah perselisihan ini sama dengan perselisihan yang terjadi pada shahabat? Ini tidak benar! Karena manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah tegak di atas tauhid kepada Allah dalam Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ was Shifat serta konsisten dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat. Sedangkan firqah-firqah yang ada sekarang menyelisihi manhaj ini. Misalnya, manhaj ikhwanul muslimin ditegakkan di atas mengabaikan syariat, menjadikan akal sebagai dasar dakwah, menyerukan untuk mencintai ahli kitab, banyak memperolok-olok sunnah, dan lain-lain. Begitu juga dengan manhaj tabligh yang ditegakkan di atas penyimpangan terhadap nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah.
Demikian pula dengan manhaj hizbut tahrir, jihadiyin, takfiriyin, dan firqah-firqah lainnya.
Lantas bagaimana Qaradhawi menjadikan perselisihan, perpecahan, dan pengelompokan yang ada sekarang ini sama dengan perbedaan pendapat di kalangan shahabat dalam masalah shalat Ashar di Bani Quraizhah?
Lalu bagaimana mungkin perselisihan dan perbedaan ini disebut sebagai rahmat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Hud : 118-119)
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan bahwa orang-orang yang berselisih bukanlah orang-orang yang mendapat rahmat-Nya. Hadits ikhtilaafu ummatii rahmah yang dijadikan dalil oleh Qaradhawi adalah dhaif karena tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Jadi, pengambilan dalil yang dilakukan oleh Qaradhawi adalah tidak benar sama sekali.
Tentang hadits ikhtilaafu ummatii rahmah, As Subki mengatakan : “Hadits ini tidak dikenal oleh para Ahli Hadits dan saya tidak mendapati sanadnya, baik yang shahih, dhaif, maupun yang palsu.”
Syaikh Al Albani rahimahullah berkomentar : “Ahli Hadits telah bersungguh-sungguh dalam melacak sanadnya namun mereka tidak berhasil mendapatkannya.” Dikutip dari Ibnu Hazm rahimahullah dalam Kitab Al Ihkaam Min Ushuulil Ahkaam juz V halaman 64 : “Ini adalah perkataan yang paling rusak karena jikalau perselisihan merupakan rahmat maka pasti kesepakatan merupakan kemurkaan dan ini tidak akan dikatakan oleh seorang Muslim. Karena yang ada hanyalah kesepakatan atau perbedaan dan rahmat atau kemurkaan.”
Kemudian Syaikh Al Albani rahimahullah menambahkan : “Singkat kata, perselisihan adalah hal yang tercela menurut syariat. Maka wajib berupaya untuk keluar darinya semaksimal mungkin karena hal itu merupakan salah satu sebab dari kelemahan umat ini, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‘Janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.’ (QS. Al Anfal : 46)
Ridha terhadap perselisihan umat dan menamakan perselisihan sebagai rahmat bagi umat adalah pendapat yang menyelisihi ayat-ayat Al Qur’an yang jelas-jelas telah mencelanya. Pendapat ini sangat tidak berdasar kecuali sebuah hadits yang tidak ada asalnya.”
Menganggap Perpecahan Dan Pengelompokan Sama Dengan Banyaknya Madzhab Fiqih
Masih belum puas juga dengan talbis yang telah lalu maka kemudian Qaradhawi terang-terangan mengatakan bahwa kelompok-kelompok dan perpecahan yang ada sekarang ini tidak lain seperti banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. Katanya :
Banyaknya partai/golongan dalam masalah politik serupa dengan banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. (Harian Ar Raayah edisi 4721, 23 Februari 1995 M)
Inilah kedustaan yang mengandung kebimbangan. Sangat besar ucapan yang keluar dari mulutmu, wahai fakihudh dhalal (ahli fiqih yang sesat)! Bagaimana engkau menjadikan perselisihan di antara kelompok-kelolmpok politik yang mengingkari agama dengan kaum Muslimin yang mengagungkan agama seperti perselisihan Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i dalam masalah fiqih?!
Perbedaan pendapat para imam itu disebabkan karena adanya dalil yang mengandung dua sisi kemungkinan dan dua pemahaman atau dengan sebab tidak sampainya suatu dalil kepada salah seorang dari mereka atau dengan sebab shahihnya suatu hadits menurut salah seorang dari mereka dan tidak shahih menurut yang lain atau dengan sebab lainnya yang banyak disebutkan oleh para ulama. Seperti yang dijabarkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab Raf’ul Malam ‘An A’immatil ‘Alam, bahwa manhaj mereka adalah satu yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman shahabat radliyallahu 'anhum serta orang-orang yang meniti manhaj mereka itu.
Sedangkan kelompok-kelompok yang dimaksud oleh Qaradhawi itu semuanya meniti manhajnya masing-masing. Komunis bermanhaj Marxis dan Leninis. Manhaj pengikut Ba’ts adalah manhaj seorang Nashrani Michele Aflaq, manhaj ikhwanul muslimin adalah manhaj demokrasi yang bercampur dengan manhaj mengikuti hawa nafsu dan mengedepankan akal daripada naql serta taklid kepada musuh-musuh Islam dan lain-lainnya. Lalu apakah masih sama perselisihan mereka itu dengan para imam yang semoga Allah merahmatinya? Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Larangan Berhizib Dan Berfirqah Dalam Al Qur’an Dan As Sunnah
Saudaraku pembaca yang budiman, sesungguhnya Qaradhawi berada di persimpangan jalan antara Al Qur’an dan As Sunnah di satu sisi dan para ulama Islam berada pada sisi yang lain. Agar semakin jelas bagi pembaca bahwa dia telah jauh dari Al Qur’an dan As Sunnah, inilah dalil-dalil tentang larangan berhizib dan berfirqah :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mukminun : 52)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Rum : 32)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat janganlah kalian seperti orang-orang musyrik yang memecah-belah agama mereka :
“Yakni mengganti dan merubah serta beriman kepada sebagian dan kufur dengan sebagian yang lain. Sebagian Ahli Tafsir membaca faaraquu diinahum, meninggalkannya di belakang punggung mereka, mereka itu seperti yahudi dan nashrani , majusi dan para penyembah berhala serta seluruh pemeluk agama sesat dari selain Ahlul Islam, sebagaimana firman Allah :
‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. Al An’am : 159)
Maka para pemeluk agama sebelum kita telah berselisih antara mereka menjadi beberapa pemikiran dan permisalan yang bahtil. Setiap golongan yang mengaku bahwa merekalah yang benar dan umat ini juga telah berselisih dan setiap ajaran adalah sesat kecuali hanya satu, itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan ajaran generasi pertama dari para shahabat, tabi’in, dan A’immah Muslimin dari dahulu sampai sekarang.” (Tafsiir Al Qur’aanul ‘Adhiim III:434)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Asy Syaukani menyebutkan pendapat para ulama adalah tentang siapakah orang-orang yang memecah-belah agama sampai beliau berkata :
“Dikatakan bahwa ayat ini umum pada seluruh orang kafir dan para mubtadi’ yang membawa ajaran yang tidak diperintah Allah. Inilah pendapat yang benar karena lafadh ini sifatnya umum. Maka termasuk di dalamnya adalah golongan ahli kitab, musyrikin, dan ahli bid’ah dari Ahlul Islam. Adapun arti syiya’an adalah firqah-firqah dan hizb-hizb. Maka sesuai dengan setiap umat yang dahulu perkaranya dalam ad din adalah satu kemudian setiap jamaah mengikuti pendapat para pembesarnya yang menyelisihi kebenaran dan Al Haq. Lasta minhum fii syai’in, bukan engkau termasuk dari golongan mereka ataupun mempertanggungjawabkan atas sebab perpecahan, penghiziban mereka sedikitpun.” (Fathul Qadiir pada ayat tersebut di atas)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)
Ibnu Katsir berkata : “Firman Allah jangalah kamu bercerai berai maksudnya Allah memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah.” Kemudian beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah :
“Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara dan membenci tiga perkara. Maka Allah meridhai tiga perkara bila kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berpecah. Dan Allah membenci tiga perkara, banyak berkata dengan katanya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.”
Kemudian beliau berkata : “Mereka telah terjamin dari kesalahan ketika mereka bersepakat sebagaimana disebutkan oleh banyak hadits dan memperingatkan mereka dari perpecahan dan perselisihan. Dan hal ini telah terjadi pada umat ini lalu mereka berpecah menjadi 73 golongan, di antaranya ada satu golongan yang selamat masuk ke Surga dan terbebas dari adzab neraka.
Mereka itulah yang mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran : 105)
“Dan mereka masih tetap berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabb-mu. Dan oleh karena itu Dia menciptakan mereka.” (QS. Hud : 118-119)
Pemahaman dari ayat ini adalah orang yang berpecah dan berselisih bukanlah termasuk orang yang dirahmati Allah. Sebaliknya orang yang bersatu dan bersepakat, merekalah orang yang mendapat rahmat.
Ibnu Katsir berkata :
“Firman Allah wa laa yazaaluuna mukhtalifiina yaitu : Dan perselisihan senantiasa terjadi di antara manusia dalam agama, ajaran, golongan, madzhab, dan pendapat mereka. Ikrimah berkata : ‘Mereka berselisih dalam Al Huda.’ Hasan Al Bashri berkata : ‘Mereka berbeda dalam rezeki, sebagian mereka ditundukkan untuk sebagian yang lain.’ Dan yang masyhur dan shahih adalah yang pertama.’
Dan firman-Nya illaa man rahima Rabbuka yaitu : Kecuali orang-orang yang dirahmati dari para pengikut Rasul yang mereka berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan sesuai dengan apa yang diberikan para Rasul Allah kepada mereka dan langkah mereka terus sampai datangnya penutup para Nabi dan Rasul. Maka mereka mengikuti, membenarkan, dan menolongnya sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)
Hadits dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu dia mati maka ia mati dalam kejahiliyahan.” (HR. Muslim)
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah maka sungguh telah memecah persatuan Muslimin.”
Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata : “Perselisihan adalah kejahatan.” Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Allah telah mencela perselisihan pada banyak ayat dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
‘Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh.’” (QS. Al Baqarah : 176)
Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat-ayat yang melarang perpecahan dan perselisihan yang telah tersebut sebagiannya sehingga beliau berkata : “Maka tidak ada lagi petunjuk dalam Ad Din kecuali dengan penjelasan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ayat-ayat-Nya sehingga berselisih dalam Ad Din adalah haram.” Setelah menyebutkan ayat-ayat yang diisyaratkan, beliau berkata :
“Apa yang telah kami sebutkan telah cukup (sebagai dalil) bahwa Allah telah menentukan perselisihan sebagai penyimpangan dan kejahatan dan Allah telah melarang perselisihan dan perpecahan dalam Ad Din. Allah juga mengancam perselisihan tersebut dengan siksaan yang berat, dengan hilangnya kekuatan mereka, dan mengabarkan bahwa perselisihan adalah mencerai-beraikan dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan-Nya maka telah terperosok di jalan syaithan.” (Ihkaam fii Ushuulil Ahkam V:67)
Imam Al Khattabi berkata : “Perpecahan itu ada dua macam. Pertama, perpecahan agama dan pemikiran. Kedua, perpecahan personal dan jasmani. Dari kedua perpecahan tersebut, perpecahan dalam agama adalah terlarang menurut akal dan haram secara ushuliyah. Perpecahan ini menyebabkan kesesatan dan kelalaian. Seandainya manusia dibiarkan berpecah-belah pastilah terpecah pemikiran dan ajaran manusia. Dan pastilah akan banyak agama dan pemahaman sehingga diutusnya para Rasul tidaklah mempunyai faidah. Bahkan itulah yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur’an.” (Al Uzlah oleh Al Khattabi, halaman 57)
Imam Asy Syatibi berkata : “Sesungguhnya Al Haq adalah satu, tak berselisih. Sebab apabila Al Haq mempunyai golongan-golongan maka tidaklah dikatakan kecuali hanya satu karena perselisihan telah ditiadakan dalam syariah sama sekali. Justru syariah adalah pemutus antara orang yang berselisih. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).’ (QS. An Nisa’ : 59)
Oleh karena itu, mengembalikan perselisihan haruslah kepada syariat. Seandainya syariat itu menuntut adanya perselisihan maka tidaklah berfaidah pengembalian perselisihan tersebut kepada syariat. Adapun kata fii syai’in, lafadh ini nakirah dalam bentuk syarat merupakan salah satu bentuk yang mengandung keumuman dan mencakup segala macam perselisihan. Maka pengembaliannya kepada syariat adalah mengembalikan kepada perkara yang satu dan tidak diperkenankan adanya bermacam firqah dan Ahlul Haq.
Firman Allah :
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.’ (QS. Al An’am : 153)
Ayat ini merupakan nash dalam hal yang kita bicarakan bahwa jalan yang satu tidak memperkenankan adanya perselisihan, berbeda dengan jalan-jalan yang berlainan arah.” (Al I’tishaam II:249)
Telah penulis sebutkan perkataan beberapa ulama tafsir tentang ayat yang berkaitan dengan larangan perpecahan dan perselisihan. Begitu pula peringatan para ulama pada zaman sekarang ini terhadap al hizbiyah dan al firqah di pelbagai buku dan kaset mereka sesuai dengan jalan ulama pendahulu mereka. Berikut sebagian dari peringatan tersebut.
Asy Syaikh bin Baz rahimahullah berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah dalam masyarakat Muslim adalah tujuan utama syaithan dan orang-orang yang memusuhi Islam. Hal ini disebabkan karena adanya kesepakatan dan persatuan serta kewaspadaan kaum Muslimin akan bahaya yang mengancam dan mengarah kepada aqidah menjadikan mereka giat untuk melawan hal tersebut dan bekerja sama dalam satu barisan untuk kemaslahatan Muslimin serta menghindarkan mara bahaya dari Ad Din, negeri, dan saudara-saudara mereka.
Ini adalah jalan yang tidak disukai oleh para musuh Islam dari jin dan manusia, oleh karena itu mereka berusaha untuk memecah-belah persatuan Muslimin dan mencerai-beraikan barisan mereka serta menebar benih-benih permusuhan di antara kaum Muslimin. Mudah-mudahan Allah senantiasa menyatukan kalimat Muslimin di atas Al Haq dan menghilangkan segala fitnah dan kesesatan dari mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang menjamin dan berkehendak atas semua itu.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqaalaat Asy Syaikh Ibn Baaz V:203-204)
Syaikh Al Albani rahimahullah, Imam Ahlus Sunnah pada zaman ini ditanya tentang masalah sebagai berikut :
“Bagaimana hukum syar’i tentang berbagai macam jamaah, hizb, dan pergerakan Islam yang berbeda manhaj, uslub dakwah, aqidah dan asas karena jamaah yang haq hanya satu sebagaimana ditunjukkan oleh hadits?”
Syaikh menjawab : “Tidak tersamar lagi bagi setiap Muslim yang mengetahui Al Qur’an, As Sunnah, dan amalan para Salafus Shalih bahwa berhizb dan bergabung dalam jamaah yang berbeda pemahaman, manhaj dan uslub bukan dari ajaran Islam sedikitpun, bahwa hal tersebut dilarang oleh Rabb kita dalam beberapa ayat Al Qur’an.”
Kemudian beliau menyitir ayat-ayat yang telah lalu dan menganjurkan untuk berpegang dengan manhaj Salaf dan memberikan peringatan dari menyelisihi manhaj tersebut. Beliau berkata :
“Oleh karena itu kami berkeyakinan dengan pasti bahwa setiap jamaah yang tidak berlandaskan asas dari Al Qur’an, As Sunnah, dan manhaj Salafus Shalih yang mencakup segala hukum Islam, baik yang besar ataupun yang kecil, ushul dan furu’-nya maka jamaah ini bukanlah termasuk Al Firqatun Najiah yang berjalan di atas Shiraathal Mustaqiim.
Kami tidak berkeyakinan bahwa hizb-hizb ini berada di atas Shiraathal Mustaqiim, bahkan kami memastikan bahwa mereka berada di atas jalan-jalan yang dipimpin oleh syaithan-syaithan yang mengajak mereka untuk mengikutinya.” (Fataawaa Asy Syaikh Al Albani 106-114)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Adakah terdapat nash-nash dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang membolehkan bermacam-macamnya jamaah Islamiyah?”
Beliau menjawab : “Hal tersebut tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah bahkan di dalamnya terdapat pencelaan terhadap hal tersebut. Allah berfirman :
‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.’ (QS. Al An’am : 159)
Dan firman-Nya :
‘Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dengan apa yang ada pada golongan mereka.’ (QS. Ar Rum : 32)
Tidak syak lagi bahwa hizb-hizb ini bertentangan (berlawanan) dengan perintah Allah dan anjuran-Nya. Firman Allah :
‘Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu maka bertakwalah kepada-Ku.’ (QS. Al Mukminun : 52)
Terhadap perkataan sebagian dari mereka : ‘Sesungguhnya dakwah tidak mungkin menjadi kuat kecuali apabila berada di bawah sebuah hizb.’ Kami menjawab ini tidak benar. Dakwah akan menjadi kuat apabila seseorang bernaung di bawah Al Qur’an dan As Sunnah serta mengikuti atsar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin.
Banyaknya jamaah adalah fakta buruk bukan fakta yang benar (sehat). Dan menurut pendapatku, hendaknya umat ini menjadi satu hizib bernaung di bawah Al Qur’an dan As Sunnah.” (Ibn Utsaimin, Ash Shahwah Al Islaamiyah 154-155)
Syaikh Shalih Al Fauzan rahimahullah ditanya tentang hukum jamaah-jamaah (golongan-golongan) dalam Islam. Maka beliau menjawab : “Perpecahan bukanlah dari Ad Din karena ia memerintahkan kita untuk bersatu dan menjadi satu jamaah dan satu umat yang berlandaskan aqidah tauhid dengan meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian beliau menyitir ayat-ayat tersebut sampai beliau berkata :
“Jamaah-jamaah dan perpecahan yang terjadi di dunia Islam pada saat ini tidak diakui oleh Din Islam bahkan sangat dilarang. Dan Islam menganjurkan untuk bersatu di atas aqidah tauhid dan manhaj Islam menjadi satu jamaah dan satu umat sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan perpecahan dan banyaknya jamaah tidak lain hanyalah perangkap syaithan dari kalangan jin dan manusia terhadap umat ini.” (Syaikh Rabi’, Jama’ah Waahidah Laa Jamaa’aat wa Shiraath Waahid Laa ‘Asyaraat halaman 183-184)
Dalam kitab-kitab dan makalah-makalah, beberapa ulama telah memperingatkan umat dari bahaya dan kebathilan berhizb. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah telah menulis risalah khusus dengan judul Al Baraa’ah minal Hizbiyah. Risalah yang bermanfaat ini telah dicetak dan terdapat di dalam Kitab Qam’ul Mu’aanid. Saya menyarankan kepada para thalabul ilmi untuk membacanya.
Al Qaradhawi Mengingkari Nash-Nash Yang Melarang Berfirqah Dan Berhizib
Saudaraku pembaca yang budiman, telah kita simak bersama ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang banyak menyebutkan haramnya berhizib. Demikian pula dengan perkataan dan fatwa para ulama, semua menyatakan haramnya perselisihan dan perpecahan. Janganlah heran apabila penulis berkata bahwa Qaradhawi mengingkari adanya nash-nash yang melarang berhizib dan berfirqah karena Qaradhawi pernah berkata :
Pendapat yang aku umumkan semenjak bertahun-tahun dalam ceramah-ceramah umum dan pertemuan-pertemuan khusus bahwa tidak ada larangan syar’i dari adanya berbagai macam hizib siyasi (partai politik) di negara Islam. Karena larangan syar’i membutuhkan adanya nash dan tidak ada nash yang melarang hal tersebut. (Harian Ar Raayah nomor 472, 23 Februari 1995 M)
Pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita betapa jauhnya pijakan Qaradhawi dari Al Qur’an dan As Sunnah serta penentangannya terhadap para ulama Islam! Hal ini menunjukkan beberapa hal : Pertama, kemungkinan Qaradhawi jahil terhadap Al Qur’an dan As Sunnah serta jarang menelaah perkataan Ahlul Ilmi. Maka seharusnya dia tidak layak mengeluarkan fatwa karena pendapat orang jahil hanya akan menyesatkan manusia. Kedua, mungkin Qaradhawi telah mengetahui dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah tapi tidak mau mengindahkan dan merenunginya. Maka tidak boleh bagi umat Islam untuk mengambil perkataan dari orang model ini dan memberikan kedudukan kepadanya. Kedua kemungkinan tersebut sama-sama pahitnya (berbahaya).
Tidak Mencegah Berdirinya Partai Kristen Di Negeri Islam
Alangkah baiknya jika Qaradhawi menghentikan pendapatnya yang bathil sampai di sini saja. Tetapi dia malah menambah parah kebathilannya dengan menyatakan bahwa tidak ada larangan terhadap berdirinya partai (hizib) kristen di negara Islam. Hal ini disampaikan ketika menanggapi larangan pemerintah Mesir atas berdirinya partai berlandaskan agama tapi mengizinkan partai komunis yang mengingkari agama.
Lalu disampaikan bantahan kepada Qaradhawi : “Apabila dikatakan bahwa hal ini bisa menyebabkan timbulnya tuntutan kalangan nashrani untuk mendirikan sebuah partai, penjelasannya adalah dikatakan kepada orang-orang Islam yang menuntut adanya partai di sini, perbuatan kalian mendorong kalangan kristen untuk menuntut berdirinya partai kristen.”
Qaradhawi menjawab bantahan itu sebagai berikut :
Secara pribadi saya tidak menentang adanya partai kristen untuk menampung aspirasi mereka walaupun partai Islam telah membuka keanggotaannya bagi kaum Muslimin dan non Muslim. (Al Islaam Wal Gharb Ma’a Yuusuf Al Qaradhaawi halaman 61)
(Sumber : Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari'at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net)
Dikutip lengkap dari : http://salafy.cjb.net/